Hanya berselang 8 bulan setelah meletakkan jabatannya sebagai Walikota Tarakan, Maret 2009, dr. H. Jusuf Serang Kasim memulai hari Ahad itu, 22 November 2009, dengan menelpon 4 sahabatnya; Soehartono Soetjipto, Pilipus Gaing, H. Abdul Djalil Fatah, dan HM. Arsyad Thalib SH MSi. Jusuf SK mengajak mereka untuk terlibat menangani pekerjaan yang sangat penting.
“Bagaimana kalau kita turun gunung menyelesaikan urusan Kaltara?” tanya Jusuf SK.
“Setuju,” jawab keempat sahabat itu.
“Tapi untuk perjuangan Kaltara ini kita semua harus rela menggunakan uang sendiri, karena dana untuk itu memang tidak ada, bagaimana?” tanya Jusuf SK lagi.
“Kita siap untuk jalan bersama-sama,” jawab mereka tanpa ragu.
Sejak hari itu, suami dari Hj Elisabeth Venny ini sibuk dengan segala kegiatan perjuangan mendirikan Provinsi Kaltara. Bersama sahabat-sahabatnya, Jusuf SK menempuh jalan panjang yang berliku, naik-turun, menyisir tepian jurang, mendaki tebing karang, menapaki kerikil tajam yang bertebaran pada setiap titiannya. Ayah dari tiga bersaudara Syariffah Adriani, Sofyan Kurniawan, dan Ari Yusnita, bersiap-siap membidani kelahiran ‘anak batin’ yang sudah dikandung dalam harapan masyarakat Kaltara sejak satu dekade lalu. Harapan untuk memiliki provinsi sendiri: Provinsi Kaltara.
Peraih 24 tanda kehormatan dan penghargaan dari dalam dan luar negeri atas prestasi kerja dan pengabdiannya ini, menyadari betul arti penting Provinsi Kaltara seperti yang ada dalam pikiran 96 mahasiswa Kaltim yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Asal Nunukan (Ikman), Ikatan Pelajar Mahasiswa Kota Tarakan (Ipmatar), dan Ikatan Mahasiswa Tanjung Selor (Imtas) yang pernah berkumpul di Asrama Mandau Kaltim di Kota Malang pada 21 September 1999. Jusuf SK dan 96 mahasiswa itu tahu belaka bahwa Provinsi Kaltim tidak bisa mengurus wilayah sebesar 1,5 kali pulau Jawa ditambah Madura ini, sehingga harus dilakukan pemekaran untuk memerpendek rentang kendali, pengawasan pembangunan, dan pelayanan publik.
Bagi tokoh yang mengenal betul arti pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara, yang mulai meniti kariernya sebagai Kepala Puskesmas Mamburungan Tarakan (1976 – 1982) sampai kemudian menjadi kepala atau direktur di lima rumah sakit berbeda di Pulau Kalimantan ini, Provinsi Kaltara harus didirikan bukan melulu menyangkut soal kekuasaan dan jatah APBD yang tidak seimbang antara 9 kabupaten/kota yang lebih besar di Selatan dengan 5 kabupaten/kota di Utara Kaltim yang lebih kecil. Lebih dari itu, pembentukan Provinsi Kaltara diperlukan demi menjaga marwah NKRI, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan.
Bukankah cerita tentang kemiskinan di perbatasan negeri ini adalah momok yang menghantui orang Indonesia? Bukankah kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat itu adalah pangkal dari sikap rendah diri (inferioritas) orang Indonesia ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa tetangga yang lebih maju? Bukankah sikap rendah diri itu bisa melemahkan daya saing Indonesia sebagai bangsa? Jika sudah begini, bukan kemenangan gemilang di ujung jalan pergaulan (baca:pesaingan) antar bangsa, melainkan kekalahan yang bakal menghadang. Ini tidak boleh terjadi. Dan pendirian Provinsi Kaltara adalah demi mengatasi semua masalah itu.
Pengalaman Jusuf SK memimpin Kota Tarakan selama satu dekade (1999 – 2009) bukan hanya sudah meninggalkan jejak prestasi bagi kemajuan Kota Tarakan, melainkan juga pelajaran yang berharga bagi lulusan terbaik LEMHANAS KSKA II (2001) ini. Jauh perjalanan yang membutuhkan jutaan langkah tetap harus dimulai dengan langkah pertama. Satu-satu.
Jalan yang ditempuh Jusuf SK dan para sahabat untuk pendirian Provinsi Kaltara adalah dengan menemui orang-orang yang berkepentingan dalam soal pemekaran daerah di tingkat pusat, Jakarta. Para senator di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dan wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tidak ada aksi turun ke jalan dan demonstrasi besar dalam penyampaian aspirasi pendirian Provinsi Kaltara, apalagi pemaksaan kehendak, melainkan pembicaraan serius dan diskusi yang mendalam.
Sebagai dokter yang juga kepala daerah, yang pernah menjadi delegasi Indonesia pada World Summit on Suistainable Development di Johanesburg Afrika Selatan (2002), dan mendapat undangan dari Pemerintah German untuk melakukan studi banding tentang otonomi daerah di negara itu bersama Prof DR Sarwono Kusuma Atmadja dan Prof DR Ryaas Rasyid, Jusuf SK dan para sahabat perjuangan memahami aspirasi pemekaran daerah yang disampaikan secara meledak-ledak hanya akan memerparah sikap pro-kontra yang terus membesar, terutama dengan tewasnya Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat, setelah dipukuli para demonstran yang menuntut terbentuknya Provinsi Tapanuli, 3 Februari 2009. Belum lagi ulasan media massa yang menyebut bahwa otonomi dan pemekaran daerah hanya menambah bilangan “raja-raja kecil” di daerah-daerah yang baru dimekarkan.
Tidak. Pembentukan Provinsi Kaltara tidak menempuh jalan itu, karena cita-citanya pun bukan demi kekuasaan belaka, apalagi menciptakan raja kecil, melainkan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga marwah NKRI di perbatasan utara nusantara. Kelima sahabat pejuang Kaltara sepakat, semuanya akan dilakukan dengan tenang dan kepala dingin. Dimulai dengan menyematkan nama “Masyarakat Kaltara Bersatu” untuk tim terdiri dari 5 orang itu. Diusulkan Jalil Fattah karena nama itu sudah terbentuk di Kabupaten Bulungan dengan Fattah sendiri sebagai ketuanya. Dan pada rapat pertama, 24 November 2009, dimantapkan Jusuf SK sebagai Ketua dan Pilipus Gaing sebagai Sekretaris Masyarakat Kaltara Bersatu (MKB).
Perahu MKB mulai berlayar. Membawa gagasan pembentukan Provinsi Kaltara. Rumah-Kantor di Jalan Majapahit no. 20, Blok B-109, Jakarta Pusat, disewa untuk dijadikan sebagai sekretariat. Kelima anggota tim MKB berkantor di sini. Konsultan yang kompeten mulai dimintai bantuannya, Prof Dr Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah dan MenPAN era Pemerintahan Presiden RI Abdurrahman Wahid. Tim MKB kemudian bersepakat menamai Sekretariat MKB itu sebagai Kaltara Center. Di tempat inilah kemudian digodok dan dirumuskan seluruh rencana dan kegiatan pembentukan Provinsi Kaltara. Namun pendirian Kaltara Center secara resmi pada 4 Januari 2010 terjadi di tengah badai moratorium pemekaran. Seratus lebih usulan daerah otonom baru terktatung-katung.
Formasi 5 sahabat perjuangan dalam Tim MKB terasa kurang memadai. Bergabunglah DR Drs Marthin Billa MM, masuk ke dalam Tim MKB dan mengisi jabatan sebagai Bendahara. Ada tekad bahwa Provinsi Kaltara harus bisa terwujud dalam waktu enam bulan. Diusahakan agar jangan sampai ada kelompok-kelompok di Kaltara yang ‘mengganggu’ perjuangan tim MKB. Setiap perkembangan harus dipublikasikan lewat media massa. Agar sejarah perjuangan pembentukan Provinsi Kaltara tercatat dengan baik. Dan dari catatan itu tertulis dinamika perjuangan pembentukan Provinsi Kaltara ternyata tidak semulus yang direncanakan.
KEMAJUAN PENTING, TAPI LANGKAH TERTAHAN
Terjadi kemajuan penting ketika Tim MKB berhasil menemui Ketua Komisi II DPR RI, Burhanuddul Napitupulu, Rabu 13 Januari 2010. Paparan Jusuf SK tentang pentingnya pemekaran Provinsi Kaltim dan Pendirian Provinsi Kaltara, ditambah penjelasan Prof Ryaas Rasyid menggugah dukungan Burnap (panggilan akrab Buhanuddin Napitupulu). Ia menyatakan setuju pemekaran Kalimantan dan Papua, karena posisi strategisnya yang berbatasan dengan negara-negara asing.
Burnap berjanji Komisi II akan membantu sepenuhnya proses pembentukan Provinsi Kaltara. Pesannya, Tim MKB harus segera menyiapkan dan melengkapi persyaratan yang diperlukan. Semua dokumen yang sudah ada harus diperbarui dan yang belum lengkap harus segera dilengkapi sesuai PP 78 tahun 2007. Secara pribadi Burnap menyatakan kekagumannya pada perjuangan pembentukan Provinsi Kaltara dan Tim MKB.
“Kaltara tidak seperti daerah lain, istimewa. Selama saya di Komisi II, baru satu kali ini ada rombongan usulan pemekaran wilayah yang elegan, tenang dan tidak gaduh. Biasanya ada 20-30 orang menemui saya (sambil) membentangkan spanduk bernada keras, sementara di luar sana puluhan atau ratusan orang berteriak-teriak.”
Tiga bulan penuh harapan dengan semangat meluap-luap selama melakukan kerja-kerja pemenuhan syarat-syarat administratif. Tetapi Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Provinsi Kaltara yang dicita-citakan, yang tampaknya akan segera terwujud harus tertahan dan mengendap hingga 18 bulan kemudian. Burnap dipanggil Tuhan Yang Maha Esa pada 21 Maret 2010. Ketua Komisi II pengganti Burnap, Chairuman Harahap, meski mendukung usaha pembentukan Provinsi Kaltara, menyatakan pengajuan pembentukan Provinsi Kaltara tetap mengikuti mekanisme yang ada di Komisi II DPR.
Hambatan besar, bukan alasan untuk menghentikan langkah, apalagi untuk berbalik arah sambil menanggalkan cita-cita. Selama masa jeda itu, Jusuf SK, Marthin Billa, dan para sahabat pejuang lainnya terus melakukan konsolidasi sambil menunggu redanya badai moratorium. Terus berkeliling melakukan safari ke daerah-daerah dan menemui tokoh-tokoh sambil menunggu keluarnya rekomendasi DPD.
Sementara pro-kontra moratorium pemekaran daerah kian membesar. Perdebatan dengan segala macam sudut pandang terjadi di mana-mana. Tim MKB terus bergerak memenuhi segala syarat-syarat pendirian Provinsi Kaltara. RUU Inisiatif DPR kemudian membuka celah harapan. Amanat/Surat Presiden yang ditunggu-tunggu sejak lama akhirnya keluar pada 11 Mei 2012 dengan Nomor R-46/PRES/05/2012.
Masih butuh waktu 6 bulan lagi sampai tiba sore itu, Senin, 22 Oktober 2012. Pemerintah dan DPR RI menyatakan persetujuannya dalam pembentukan Provinsi Kaltara. Bayi Kaltara lahir. Tim MKB mengadakan temu tokoh Kaltara pada Rabu malam, 24 Oktober 2012.
“Ibaratnya bayi, dia sudah lahir. Tinggal tali pusatnya yang belum. Baru akan dipotong tiga hari sejak keluarnya Ampres/Surpres, yaitu Kamis, 25 Oktober 2012, saat DPR RI menggelar Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Pembentukan Kaltara menjadi Undang-undang,” ujar Bapak Kaltara Jusuf SK.
Ingat-ingatlah hari itu. Karena 25 Oktober 2012 itu adalah hari paling bersejarah bagi Kalimantan Utara. Hari yang mengajarkan kesabaran yang tak berbatas.
Tanda tanya besar menganga. Beberapa pasal dalam RUU Kaltara itu sangat kontroversial. “Sangat tidak sejalan dengan roh dan spirit NKRI dalam memandang soal perbatasan yang lebih dari lima dekade sejak kemerdekaan kurang tersentuh,” tutur Jusuf SK.
“Lihatlah pasal 13, yang menyebutkan bahwa DPRD Provinsi Kaltara dibentuk dari hasil Pemilu 2014. Itu berarti Kaltara akan dipimpin oleh Pejabat Gubernur selama tiga tahun tanpa didampingi lembaga legislatif,” tegas Bapak Kaltara lagi.
Bukan hanya itu, masyarakat Kaltara juga harus menunggu Gubernur dan Wakil Gubernur yang definif, yang bisa dipilih langsung oleh masyarakat Kaltara sendiri. Harapan masyarakat kembali tersumbat di Kaltara. Demokrasi tertunda lagi. Bukan tidak ada usaha sama sekali untuk mengatasi masalah ini. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi sudah ditempuh, tapi hasilnya nihil.
Mengutip penjelasan Prof Laica Marzuki, saksi ahli dalam sidang uji materi di MK, Provinsi Kaltara saat ini diistilahkan sebagai ‘defaktum,’ yang membenarkan adanya kevakuman pemerintahan daerah dan kevakuman rumah rakyat, serta pemerintahan transisi sejak 17 November 2012—saat UU No. 20 tahun 2012 dimasukkan ke dalam Lembar Negara—sampai diperoleh hasil pemilihan umum tahun 2014.
“Masya Allah, saya merasa sedih dan malu. Semoga Tuhan mengampuni kita semua,” panjat doa Prof Laica dalam kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi.
Demokrasi tidak bisa ditunda lagi di Kalimantan Utara. Pada 9 Desember 2015 akan dipilih Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Utara. Bapak Kaltara Jusuf SK dan Marthin Billa maju sebagai Pasangan Pejuang Kaltara. Perjuangan Kaltara masih terus berlanjut. Seluruh masyarakat Kaltara wajib mengamankannya. Memberikan amanat kekuasaan bagi yang berhak. Sambil tetap mengingat untuk apa Provinsi Kaltara ini berdiri. Tiada lain tiada bukan, yakni demi menjaga marwah NKRI, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan. MAJUKAN KALTARA BERSAMA.
Salam Pejuang
Profil calon wakilnya.....
Sumber : http://www.pejuangkaltara.com/