Doa Rasulullah Saat Dipuji

Doa Saat Dipuji

Doa Rasulullah Saat Dipuji

Pujian bisa datang kapan saja, dan kadang kita menyikapinya berlebihan. Padahal yang paling berhak dipuji adalah Alloh semata

Ini ada tuntunan apa yang Rasulullah lakukan saat dipuji orang lain, dibaca dan diamalkan yaa...

Dan kita harus selalu ingat, bahwa Allah mempunyai Asmaul Husna - AL HAMID, Yang Maha Terpuji

#asmaulhusna #bukuasmaulhusna #aagym #doa #sunnah #dakwah #islamicquotes

Sumber FB : KH. Abdullah Gymnastiar 

26 Agustus 2020  · 


Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriyah

Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriyah - Doa Kajian Islam Tarakan

DOA AKHIR TAHUN HIJRIYAH & DOA AWAL TAHUN HIJRIYAH

Berikut kami hadirkan doa awal tahun dan akhir tahun yang disusun oleh Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah…

Doa akhir tahun dianjurkan dibaca ketika menjelang maghrib 1 Muharrom dan Doa Awal tahun dianjurkan dibaca saat selesai sholat Magrib 1 Muharrom

DOA AKHIR TAHUN HIJRIYAH

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ, اَللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِيْ هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ فَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ. وَدَعَوْتَنِيْ إِلَى التَّوْبَةِ مِنْهُ بَعْدَ جَرَاءَتِيْ عَلَى مَعْصِيَتِكَ ,

اَللّٰهُمَّ إِنِّي اَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِيْ, وَمَا عَمِلْتُهُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَأَسْأَلُكَ اَللّٰهُمَّ يَا كَرِيْمُ. يَا ذَا اْلجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ أَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّيْ وَلاَ تَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

DOA AWAL TAHUN HIJRIYAH

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ, اَللّٰهُمَّ أَنْتَ اْلأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الأَوَّلُ, وَعَلَى فَضْلِكَ اْلعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ, وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ, نَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ وَجُنُوْدِهِ, وَاْلعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ, وَاْلاِشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَا اْلجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Sampaikan kepada yang lain…

Rosululloh SAW bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya.” HR. Imam Muslim

Sumber FB : Buya Yahya
19 Agustus 2020· 

Dalil Membaca Surat Yasin Untuk Orang Mati

Dalil Membaca Surat Yasin Untuk Orang Mati - Artikel Kajian Islam Tarakan
Dalil Membaca Surat Yasin Untuk Orang Mati
oleh : Ma'ruf Khozin

Surat Yasin merupakan surat yang ke 36 yang terdiri dari 83 ayat dalam al-Quran. Sebagaimana dalam surat lain yang memiliki keutamaan dalam sabda-sabda Rasulullah Saw, surat Yasin juga sering dianjurkan untuk dibaca oleh Rasulullah. Riwayat hadis tentang keutamaan membaca Yasin sebagiannya adalah sahih, ada pula yang hasan, dlaif dan maudlu' (palsu). Akan tetapi, karena Yasin adalah sebuah surat yang diamalkan oleh warga NU dalam setiap tahlil dan bahkan mereka hafal surat ini kendatipun mereka buta huruf Arab, maka hal ini memancing reaksi berlebihan dari kelompok yang sejak semula memang anti tahlil dengan mengungkap hadis-hadis palsu dan dlaif dari surat Yasin, padahal hakekatnya mereka juga tahu bahwa dalam fadilah Yasin juga banyak riwayat sahihnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:   

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ يس فِى لَيْلَةٍ اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ (رواه البيهقى فى شعب الإيمان رقم 2464 وأخرجه أيضًا الطبرانى فى الأوسط رقم 3509 والدارمى رقم 3417 وأبو نعيم فى الحلية 2/159 والخطيب البغدادي 10/257 وأخرجه ابن حبان عن جندب البجلى رقم 2574)

"Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa membaca Surat Yasin di malam hari seraya mengharap rida Allah, maka ia diampuni" (HR al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 2464, al-Thabrani dalam al-Ausath No 3509, al-Darimi No 3417, Abu Nuaim dalam al-Hilyat II/159, Khatib al-Baghdadi X/257 dan Ibnu Hibban No 2574)

Hadis ini diklaim oleh banyak pihak sebagai hadis palsu, khususnya dibesarkan-besarkan oleh kelompok yang anti tahlil karena hampir setiap acara tahlilan terlebih dahulu membaca Surat Yasin bersama atau dibaca saat berziarah. Untuk membantahnya kami paparkan ke hadapan mereka pendapat ulama dari kalangan mereka sendiri dan sekaligus dikagumi oleh mereka, yaitu Muhammad bin Ali al-Syaukani. Ia berkata:

حَدِيْثُ مَنْ قَرَأَ يس اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا وَإِسْنَادُهُ عَلَى شَرْطِ الصَّحِيْحِ وَأَخْرَجَهُ أَبُوْ نُعَيْمٍ وَأَخْرَجَهُ الْخَطِيْبُ فَلاَ وَجْهَ لِذِكْرِهِ فِي كُتُبِ الْمَوْضُوْعَاتِ (الفوائد المجموعة في الأحاديث الموضوعة لمحمد بن علي بن محمد الشوكاني 1 / 302)

"Hadis yang berbunyi: 'Barangsiapa membaca Surat Yasin seraya mengharap rida Allah, maka ia diampuni' diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah secara marfu', sanadnya sesuai kriteria hadis sahih. Juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim dan Khatib (al-Baghdadi). Maka tidak ada jalan untuk mencantumkannya dalam kitab-kitab hadis palsu!" (al-Fawaid al-Majmu'ah I/302)

Begitu pula ahli hadis al-Fatanni berkata:

مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ وَمَنْ قَرَأَ الدُّخَانَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ فِيْهِ مُحَمَّدُ بْنُ زَكَرِيَّا يَضَعُ  قُلْتُ لَهُ طُرُقٌ كَثِيْرَةٌ عَنْهُ بَعْضُهَا عَلَى شَرْطِ الصَّحِيْحِ أَخْرَجَهُ التُّرْمُذِي وَالْبَيْهَقِي (تذكرة الموضوعات للفتني 1 / 80)

"Hadis yang berbunyi: 'Barangsiapa membaca Surat Yasin di malam hari, maka di pagi harinya ia diampuni dan barangsiapa membaca Surat al-Dukhan di malam Jumat, maka di pagi harinya ia diampuni' Di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Zakariya yang memalsukan hadis. Saya (al-Fatanni) berkata: Hadis ini memiliki banyak jalur riwayat, yang sebagiannya sesuai kriteria hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan al-Baihaqi" (Tadzkirat al-Maudlu'at I/80)[1]

Bahkkan seorang ahli tafsir yang menjadi murid Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnu Katsir (yang tafsirnya paling sering dikaji oleh kelompok anti tahlil), mencantumkan banyak hadis tentang keutamaan (fadilah) Surat Yasin, diantaranya hadis riwayat al-Hafidz Abu Ya'la al-Mushili No 6224:

وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ يَعْلَى حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ أَبِي إِسْرَائِيْلَ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ زِيَادٍ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ وَمَنْ قَرَأَ حم الَّتِي فِيْهَا الدُّخَانُ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ

"Barangsiapa membaca Surat Yasin di malam hari, maka di pagi harinya ia diampuni dan barangsiapa membaca Surat al-Dukhan, maka di pagi harinya ia diampuni"

Ibnu Katsir berkata:

إِسْنَادٌ جَيِّدٌ (تفسير ابن كثير 6 / 561)

"Ini adalah sanad yang bagus" (Tafsir Ibnu Katsir VI/561)

Tidak banyak yang tahu mengenai hukum menuduh hadis palsu, padahal nyata sekali bahwa riwayat tersebut secara akumulasi adalah sahih. Maka disini Rasulullah Saw memberi kecaman bagi mereka yang melakukan hal itu:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَهُ عَنِّي حَدِيْثٌ فَكَذَّبَ بِهِ فَقَدْ كَذَّبَ ثَلاَثَةً اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَالَّذِي حَدَّثَ بِهِ (رواه الطبراني في الأوسط رقم 7596 وابن عساكر 27/410 عن جابر)

"Barangsiapa yang sampai kepadanya sebuah hadis dari saya kemudian ia mendustakannya, maka ada tiga yang ia dustakan, yaitu Allah, Rasul-Nya dan perawi hadis tersebut"[2] (HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Ausath No 7596 dan Ibnu 'Asakir 27/410 dari Jabir)

Kembali ke masalah membaca surat Yasin. Lebih dari itu, ternyata Ibnu Katsir sependapat dengan amaliyah Nahdliyin dalam membaca Surat Yasin di dekat orang yang akan meninggal. Berikut diantara uraiannya:

ثُمَّ قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِي عَنْ أَبِي عُثْمَانَ -وَلَيْسَ بِالنَّهْدِي- عَنْ أَبِيْهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "اِقْرَؤُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ" يَعْنِي يس. وَرَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالنَّسَائِي فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ وَابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ بِهِ إِلاَّ أَنَّ فِي رِوَايَةِ النَّسَائِي عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ مَعْقِلٍ بْنِ يَسَارٍ. وَلِهَذَا قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ مِنْ خَصَائِصِ هَذِهِ السُّوْرَةِ أَنَّهَا لاَ تُقْرَأُ عِنْدَ أَمْرٍ عَسِيْرٍ إِلاَّ يَسَّرَهُ اللهُ. وَكَأَنَّ قِرَاءَتَهَا عِنْدَ الْمَيِّتِ لِتُنْزَلَ الرَّحْمَةُ وَالْبَرَكَةُ وَلِيَسْهُلَ عَلَيْهِ خُرُوْجُ الرُّوْحِ وَاللهُ أَعْلَمُ. قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ حَدَّثَنَا أَبُوْ الْمُغِيْرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ قَالَ كَانَ الْمَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ إِذَا قُرِئَتْ - يَعْنِي يس- عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا (تفسير ابن كثير 6 / 562)

"Imam Ahmad berkata (dengan meriwayatkan sebuah) bahwa Rasulullah Saw bersabda: Bacalah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal (HR Abu Dawud dan al-Nasa'i dan Ibnu Majah). Oleh karenanya sebagian ulama berkata: diantara keistimewaan surat yasin jika dibacakan dalam hal-hal yang sulit maka Allah akan memudahkannya, dan pembacaan Yasin di dekat orang yang meninggal adalah agar turun rahmat dan berkah dari Allah serta memudahkan keluarnya ruh. Imam Ahmad berkata: Para guru berkata: Jika Yasin dibacakan di dekat mayit maka ia akan diringankan (keluarnya ruh) dengan bacaan Yasin tersebut" (Ibnu Katsir VI/342)

Berikut kutipan selengkapnya dari kitab Musnad Ahmad mengenai pembacaan Yasin di samping orang yang akan meninggal yang telah menjadi amaliyah ulama terdahulu dan terus diamalkan oleh warga NU:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِي أَبِي ثَنَا أَبُوْ الْمُغِيْرَةِ ثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي الْمَشِيْخَةُ اَنَّهُمْ حَضَرُوْا غُضَيْفَ بْنَ الْحَرْثِ الثَّمَالِيَ حِيْنَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ فَقَالَ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس قَالَ فَقَرَأَهَا صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السُّكُوْنِي فَلَمَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ مِنْهَا قُبِضَ قَالَ فَكَانَ الْمَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا قَالَ صَفْوَانُ وَقَرَأَهَا عِيْسَى بْنُ الْمُعْتَمِرِ عِنْدَ بْنِ مَعْبَدٍ (مسند أحمد بن حنبل 17010)

"Para guru bercerita bahwa mereka mendatangi Ghudlaif bin Hars al-Tsamali ketika penyakitnya sangat parah. Shafwan berkata: Adakah diantara anda sekalian yang mau membacakan Yasin? Shaleh bin Syuraih al-Sukuni yang membaca Yasin. Setelah ia membaca 40 dari Surat Yasin, Ghudlaif meninggal. Maka para guru berkata: Jika Yasin dibacakan di dekat mayit maka ia akan diringankan (keluarnya ruh) dengan Surat Yasin tersebut. (Begitu pula) Isa bin Mu'tamir membacakan Yasin di dekat Ibnu Ma'bad" (Musnad Ahmad No 17010)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menilai atsar ini:

وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنُ اْلإِسْنَادِ (الإصابة في تمييز الصحابة للحافظ ابن حجر 5 / 324)

"Riwayat ini sanadnya adalah hasan" (al-Ishabat fi Tamyiz al-Shahabat V/324)

Ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar juga menilai riwayat amaliyah ulama salaf membaca Yasin saat Ghudlaif akan wafat sebagai dalil penguat (syahid) dari hadis riwayat Ma'qil bin Yasar yang artinya: Bacakanlah Surat Yasin di dekat orang yang meninggal. (Raudlah al-Muhadditsin X/266)

Al-Hafidz Ibnu Hajar memastikan Ghudlaif ini adalah seorang sahabat:

هَذَا مَوْقُوْفٌ حَسَنُ اْلإِسْنَادِ وَغُضَيْفٌ صَحَابِىٌّ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ وَالْمَشِيْخَةُ الَّذِيْنَ نَقَلَ عَنْهُمْ لَمْ يُسَمُّوْا لَكِنَّهُمْ مَا بَيْنَ صَحَابِىٍّ وَتَابِعِىٍّ كَبِيْرٍ وَمِثْلُهُ لاَ يُقَالُ بِالرَّأْىِ فَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعُ (روضة المحدثين للحافظ ابن حجر 10 / 266)

"Riwayat sahabat ini sanadnya adalah hasan. Ghudlaif adalah seorang sahabat menurut mayoritas ulama. Sementara 'para guru' yang dikutip oleh Imam Ahmad tidak disebut namanya, namun mereka ini tidak lain antara sahabat dan tabi'in senior. Hal ini bukanlah pendapat perseorangan, tetapi berstatus sebagai hadis yang disandarkan pada Rasulullah (marfu')" (Raudlah al-Muhadditsin X/266)
Terkait dengan tuduhan anti tahlil yang mengutip pernyataan beberapa ulama bahwa sanad hadis riwayat Ma'qil ini goncang, redaksi hadisnya (matan) tidak diketahui dan sebagainya, maka cukup dibantah dengan pendapat ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulugh al-Maram I/195:


عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ (وأخرجه أحمد 20316 وأبو داود رقم 3121 وابن ماجه رقم 1448 وابن حبان رقم 3002 والطبرانى رقم 510 والحاكم رقم 2074 والبيهقى رقم 6392 وأخرجه أيضاً الطيالسى رقم 931 وابن أبى شيبة رقم 10853 والنسائى فى الكبرى رقم 10913)

"Dari Ma'qil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda: 'Bacalah surat Yasin di dekat orang-orang yang meninggal.' Ibnu Hajar berkata: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa'i dan disahihkan oleh Ibnu Hibban"

(Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad No 20316, Abu Dawud No 3121, Ibnu Majah No 1448, al-Thabrani No 510, al-Hakim No 2074, al-Baihaqi No 6392, al-Thayalisi No 931, Ibnu Abi Syaibah No 10853 dan al-Nasa'i dalam al-Sunan al-Kubra No 10913)

Dalam kitab tersebut al-Hafidz Ibnu Hajar tidak memberi komentar atas penilaian sahih dari Ibnu Hibban. Sementara dalam kitab beliau yang lain, Talkhis al-Habir II/244, kendatipun beliau mengutip penilaian dlaif dari Ibnu Qattan dan al-Daruquthni, di saat yang bersamaan beliau meriwayatkan atsar dari riwayat Imam Ahmad diatas.

Jika telah didukung dalil-dalil hadis dan diamalkan oleh para ulama salaf, lalu bagaimana dengan amaliyah membaca Surat Yasin setelah orang tersebut meninggal atau bahkan dibaca di kuburannya? Berikut ini beberapa pandangan ulama terkait penafsiran hadis di atas.

1.       Ibnu Qayyim

وَهَذَا يَحْتَمِلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ قِرَاءَتُهَا عَلَى الْمُحْتَضَرِ عِنْدَ مَوْتِهِ مِثْلَ قَوْلِهِ لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاْلأَوَّلُ أَظْهَرُ (الروح لابن القيم 1 / 11)

"Hadis ini bisa jadi dibacakan di dekat orang yang akan meninggal sebagaimana sabda Nabi Saw: Tuntunlah orang yang akan mati diantara kalian dengan Lailahaillallah. Dan bisa jadi yang dimaksud adalah membacanya di kuburnya. Pendapat pertamalah yang lebih kuat" (al-Ruh I/11)

2.      Ahli Tafsir al-Qurthubi

وَيُرْوَى عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَقَدْ رُوِىَ إِبَاحَةُ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ عِنْدَ الْقَبْرِ عَنِ الْعَلاَّءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَذَكَرَ النَّسَائِي وَغَيْرُهُ مِنْ حَدِيْثِ مَعْقِلٍ بْنِ يَسَارٍ الْمَدَنِي عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ اِقْرَأُوْا يس عِنْدَ مَوْتَاكُمْ وَهَذَا يَحْتَمِلُ أَنْ تَكُوْنَ الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْمَيِّتِ فِي حَالِ مَوْتِهِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ تَكُوْنَ عِنْدَ قَبْرِهِ (التذكرة للقرطبي 1 / 84)

"Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa ia memerintahkan agar dibacakan surat al-Baqarah di kuburannya. Diperbolehkannya membaca al-Quran di kuburan diriwayatkan dari 'Ala' bin Abdurrahman. Al-Nasai dan yang lain menyebutkan hadis dari Ma'qil bin Yasar al-Madani dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda: Bacalah Yasin di dekat orang-orang yang meninggal. Hadis ini bisa jadi dibacakan di dekat orang yang akan meninggal dan bisa jadi yang dimaksud adalah membacanya di kuburnya" (Tadzkirat al-Qurthubi I/84)

3.      Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi

وَقَالَ الْقُرْطُبِي فِي حَدِيْثِ إقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس هَذَا يَحْتَمِلُ أَنْ تَكُوْنَ هَذِهِ الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْمَيِّتِ فِي حَالِ مَوْتِهِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ تَكُوْنَ عِنْدَ قَبْرِهِ قُلْتُ وَبِاْلأَوَّلِ قَالَ الْجُمْهُوْرُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ وَبِالثَّانِي قَالَ إبْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِي فِي الْجُزْءِ الَّذِي تَقَدَّمَتِ اْلإِشَارَةُ إِلَيْهِ وَبِالتَّعْمِيْمِ فِي الْحَالَيْنِ قَالَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ مِنْ مُتَأَخِّرِي أَصْحَابِنَا وِفِي اْلإِحْيَاءِ لِلْغَزَالِي وَالْعَاقِبَةِ لِعَبْدِ الْحَقِّ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ قَالَ إِذَا دَخَلْتُمُ الْمَقَابِرَ فَاقْرَؤُوْا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتْيِن وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَاجْعَلُوْا ذَلِكَ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِنَّهُ يَصِلُ إِلَيْهِمْ (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور للحافظ جلال الدين السيوطي 1 / 304)

"al-Qurthubi berkata mengenai hadis: 'Bacalah Yasin di dekat orang-orang yang meninggal' bahwa Hadis ini bisa jadi dibacakan di dekat orang yang akan meninggal dan bisa jadi yang dimaksud adalah membacanya di kuburnya. Saya (al-Suyuthi) berkata: Pendapat pertama disampaikan oleh mayoritas ulama. Pendapat kedua oleh Ibnu Abdul Wahid al-Maqdisi dalam salah satu kitabnya dan secara menyeluruh keduanya dikomentari oleh Muhib al-Thabari dari kalangan Syafiiyah. Disebutkan dalam kitab Ihya al-Ghazali, dalam al-Aqibah Abdulhaq, mengutip dari Ahmad bin Hanbal, beliau berkata: Jika kalian memasuki kuburan, maka bacalah al-Fatihah, al-Muawwidzatain, al-Ikhlas, dan jadikanlah (hadiahkanlah) untuk penghuni makam, maka akan sampai pada mereka" (Syarh al-Shudur I/304)

4.      Muhammad bin Ali al-Syaukani
وَاللَّفْظُ نَصٌّ فِى اْلأَمْوَاتِ وَتَنَاوُلُهُ لِلْحَىِّ الْمُحْتَضَرِ مَجَازٌ فَلاَ يُصَارُ إِلَيْهِ إِلاَّ لِقَرِيْنَةٍ (نيل الأوطار للشوكاني 4 / 52)

"Lafadz dalam hadis tersebut secara jelas mengarah pada orang yang telah meninggal. Dan lafadz tersebut mencakup pada orang yang akan meninggal hanya secara majaz. Maka tidak bisa diarahkan pada orang yang akan meinggal kecuali bila ada tanda petunjuk" (Nail al-Authar IV/52)

5.      Mufti Universitas al-Azhar Kairo Mesir, 'Athiyah Shaqar
وَحَمَلَهُ الْمُصَحِّحُوْنَ لَهُ عَلَى الْقِرَاءَةِ عَلَى الْمَيِّتِ حَالَ اْلاِحْتِضَارِ بِنَاءً عَلَى حَدِيْثٍ فِى مُسْنَدِ الْفِرْدَوْسِ مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوْتُ فَتُقْرَأُ عِنْدَهُ يس إِلاَّ هَوَّنَ اللهُ عَلَيْهِ لَكِنْ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ قَالَ إِنَّ لَفْظَ الْمَيِّتِ عَامٌ لاَ يَخْتَصُّ بِالْمُحْتَضَرِ فَلاَ مَانِعَ مِنِ اسْتِفَادَتِهِ بِالْقِرَاءَةِ عِنْدَهُ إِذَا انْتَهَتْ حَيَاتُهُ سَوَاءٌ دُفِنَ أَمْ لَمْ يُدْفَنْ رَوَى اْلبَيْهَقِى بِسَنَدٍ حَسَنٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ اسْتَحَبَّ قِرَاءَةَ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَابْنُ حِبَّانَ الَّذِى قَالَ فِى صَحِيْحِهِ مُعَلِّقًا عَلَى حَدِيْثِ اقْرَءُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس أَرَادَ بِهِ مَنْ حَضَرَتْهُ الْمَنِيَّةُ لاَ أَنَّ الْمَيِّتَ يُقْرَأُ عَلَيْهِ رَدَّ عَلَيْهِ الْمُحِبُّ الطَّبَرِىُّ بِأَنَّ ذَلِكَ غَيْرُ مُسَلَّمٍ لَهُ وَإِنْ سُلِّمَ أَنْ يَكُوْنَ التَّلْقِيْنُ حَالَ اْلاِحْتِضَارِ (فتاوى الأزهر 7 / 458)

"Ulama yang menilai sahih hadis diatas mengarahkan pembacaan Yasin di dekat orang yang akan meninggal. Hal ini didasarkan pada hadis yang terdapat dalam musnad al-Firdaus (al-Dailami) yang berbunyi: 'Tidak ada seorang mayit yang dibacakan Yasin di dekatnya, kecuali Allah memberi kemudahan kepadanya.' Namun sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz mayit bersifat umum yang tidak khusus bagi orang yang akan mati saja. Maka tidak ada halangan untuk menggunakannya bagi orang yang telah meninggal, baik sudah dimakamkan atau belum. Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang hasan (al-Sunan al-Kubra No 7319) bahwa Ibnu Umar menganjurkan membaca permulaan dan penutup surat al-Baqarah di kuburannya setelah dimakamkan. Pendapat Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya yang memberi catatan pada hadis diatas bahwa yang dimaksud adalah orang yang akan meninggal bukan mayit yang dibacakan di hadapannya, telah dibantah oleh Muhib al-Thabari bahwa hal itu tidak dapat diterima, meskipun talqin kepada orang yang akan meninggal bisa diterima" (Fatawa al-Azhar VII/458)

6.      al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani

تَنْبِيْهٌ قَالَ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيْحِهِ عَقِبَ حَدِيْثِ مَعْقِلٍ قَوْلُهُ اقْرَءُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس أَرَادَ بِهِ مَنْ حَضَرَتْهُ الْمَنِيَّةُ لاَ أَنَّ الْمَيِّتَ يُقْرَأُ عَلَيْهِ قَالَ وَكَذَلِكَ لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَرَدَّهُ الْمُحِبُّ الطَّبَرِي فِي اْلأَحْكَامِ وَغَيْرِهِ فِي الْقِرَاءَةِ وَسَلَّمَ لَهُ فِي التَّلْقِيْنِ (تلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير للحافظ ابن حجر 2 / 245)

"Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya memberi komentar pada hadis Ma'qil diatas bahwa yang dimaksud adalah orang yang akan meninggal bukan mayit yang dibacakan di hadapannya. Begitu pula hadis: 'Tuntunlah orang yang akan mati diantara kalian dengan Lailahaillallah,' dan telah dibantah oleh Muhib al-Thabari dalam kitab al-Ahkam bahwa hal itu tidak dapat diterima dalam hal membaca Yasin, sementara talqin kepada orang yang akan meninggal bisa diterima" (Talkhis al-Habir II/245)

7.      Muhammad al-Shan'ani

وَأَخْرَجَ أَبُوْ دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ اِقْرَاءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس وَهُوَ شَامِلٌ لِلْمَيِّتِ بَلْ هُوَ الْحَقِيْقَةُ فِيْهِ (سبل السلام بشرح بلوغ المرام لمحمد بن إسماعيل الأمير الكحلاني الصنعاني 2 / 119)

"Hadis riwayat Abu Dawud dari Ma'qil 'Bacalah Yasin di dekat orang-orang yang meninggal' ini, mencakup pada orang yang telah meninggal, bahkan hakikatnya adalah untuk orang yang meninggal" (Subul al-Salam Syarah Bulugh al-Maram II/119)

Riwayat lain yang menguatkan adalah:

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنِ الْمُجَالِدِ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ الأَنْصَارُ يَقْرَؤُوْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ بِسُوْرَةِ الْبَقَرَةِ (مصنف ابن أبي شيبة رقم 10953)

"Diriwayatkan dari Sya'bi bahwa sahabat Anshor membaca surat al-Baqarah di dekat orang yang telah meninggal" (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No 10963)

Begitu pula atsar di bawah ini:
حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ عَنْ حَسَّانَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ عَنْ أُمَيَّةَ الأَزْدِيِّ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ عِنْدَ الْمَيِّتِ سُوْرَةَ الرَّعْدِ (مصنف ابن أبي شيبة رقم 10957)

"Diriwayatkan dari Jabir bin Zaid bahwa ia membaca surat al-Ra'd di dekat orang yang telah meninggal" (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No 10967)

Bahkan ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar memperkuat riwayat tersebut:

وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِى شَيْبَةَ مِنْ طَرِيْقِ أَبِى الشَّعْثَاءِ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ مِنْ ثِقَاتِ التَّابِعِيْنَ أَنَّهُ يَقْرَأُ عِنْدَ الْمَيِّتِ سُوْرَةَ الرَّعْدِ وَسَنَدُهُ صَحِيْحٌ (روضة المحدثين للحافظ ابن حجر 10 / 266)

"Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalur Jabir bin Zaid, ia termasuk Tabi'in yang terpercaya, bahwa ia membaca surat al-Ra'd di dekat orang yang telah meninggal. Dan Sanadnya adalah sahih!" (Raudlat al-Muhadditsin X/226)

[1]  Dari uraian dua ulama ini dapat diketahui bahwa tuduhan hadis palsu dalam beberapa fadilah surat Yasin karena mereka hanya melihat dari satu jalur riwayat saja, sementara dalam hadis tersebut memiliki banyak jalur riwayat. Hal inilah yang sering menjadi kecerobohan dari Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya 'al-Maudluat' yang menuai kritik tajam dari ahli hadis lain, seperti Ibnu Hajar, al-Suyuthi dan lain-lain.

[2]  Al-Hafidz al-Haitsami berkata: "Dalam sanadnya ada perawi bernama Mahfudz bin Maisur, Ibnu Hatim tidak memberi penilaian sama sekali kepadanya" (Majma' al-Zawaid No 660). Ini menunjukkan hadis tersebut tidak dlaif.

KH. Ma'ruf Khozin
Pakar ASWAJA Center PWNU Jawa Timur, sekaligus alumni Pondok Pesantren al-Falah Ploso Kediri, saat ini sibuk menjadi Narasumber di berbagai macam seminar ke-NU-an, Kajian Amaliah Ahlussunnah Wal Jama'ah, dan aktif di berbagai pengajian baik umum maupun private.

Sumber Website : http://www.hujjahnu.com/2013/02/dalil-membaca-surat-yasin-untuk-orang.html (2013-02-11)

Ladang Pahala Tanpa Biaya

Ladang Pahala Tanpa Biaya

Ladang Pahala Tanpa Biaya

“Ketika istri ngomel marah, terus anda sabar, maka itu adalah ladang pahala tanpa biaya.” #GusBaha 

Sumber FB : Pengajian Gus Baha

Sikap Ekstremis Dalam Beragama

Sikap Ekstremis Dalam Beragama - Qoutes Kajian Islam Tarakan

Sikap Ekstremis Dalam Beragama

Awal mula timbulnya sikap ekstremis dalam beragama adalah perasaan merasa benar sendiri dengan hanya bertumpu pada referensi homogen dari kelompoknya saja serta hanya mau berinteraksi ilmiah dengan yang "semanhaj" dengannya. Jikapun mau membaca referensi lain, maka tujuannya adalah untuk mencari celah salahnya bukan memahami dasar argumennya.

Sumber FB : Abi Azka Ar Rifa'i
20 Juli pada 07.32 · 

Mencatut Nama Qur’an dan Sunnah, Bukan Pekerjaan Ulama Salaf

Mencatut Nama Qur’an dan Sunnah, Bukan Pekerjaan Ulama Salaf - Artikel Kajian Islam Tarakan
Mencatut Nama Qur'an dan Sunnah, Bukan Pekerjaan Ulama Salaf!
Ahmad Zarkasih, Lc

Kita tidak mendapati –sejak dulu- ulama salaf yang beneran salaf juga ulama madzhab, yang dalam masalah-masalah fiqih, mereka menisbatkan pendapat hasil ijtihad mereka kepada al-Qur’an dan sunnah. Dengan bahasa yang lebih ringan, kita tidak pernah mendapati mereka menuliskan dalam kitab-kitab mereka “ini pendapat yang shahih dan benar menurut al-Qur’an dan sunnah”. Tidak pernah kita dapati itu. Sama sekali tidak pernah. Yang kita dapati adalah, bahwa mereka dalam masalah-masalah fiqih yang mereka ijtihad-kan mereka menisbatkan pendapat mereka itu kepada diri mereka atau madzhab mereka.

Itu tentu bukan karena para salaf dan ulama madzhab serta imam-imam mulia mereka tidak mengambil hukum dari al-Qura’an dan sunnah. Bukan itu tentunya. Keliru jika ada yang beranggapan seperti ini. Toh para imam-imam itu beserta ulamanya, adalah orang yang memang sangat mengerti dengan dalam maksud teks syariah, baik ayat atau juga hadits. Baik itu yang manthuq atau juga yang mafhum-nya. Apa yang mereka lakukan dengan tidak menisbatkan pendapat mereka kepada al-Qur’an dan sunnah, itu bukti kedalaman kepahaman mereka terhadap teks-teks al-Quran dan sunnah.

Syariah dan Fiqih

Yang mesti kita tahu terlebih dahulu, bahwa dalam al-Qur’an dan sunnah yang merupakan 2 sumber utama dalam syariat Islam ini ada di dalamnya teks yang bersifat qath’iy (pasti), dan juga yang sifatnya Dzanniy (duga-duga). Yang Qath’iy itu adalah teks yang tidak punya makna berbilang dan sudah tidak mungkin ditafsirkan lagi, serta tidak perlu dilakukan didalamnya ijtihad. Itu yang disebut dengna istilah Nash. Seperti wajibnya shalat, haramnya berjudi, mencuri juga berzina. Kesemua itu syariah yang menghukumi.

Jadi wajibnya shalat itu bukan perkara ijtihadiy, maka tidak bisa dikatakan “shalat itu wajib menurut madzhab fulan...”, tidak bisa. Harus dikatakan bahwa “shalat itu wajib menurut syariat islam!”.

Di samping Qath’iy, ada bahkan banyak teks syariah yang sifatnya dznniy; karena memang ini yang menjadi porsi terbesar dalam teks syariah, baik itu ayat al-Qur’an atau juga Hadits nabi s.a.w.. dzanniy itu teks yang masih multi tafsir, mana tidak bisa digali hukum dari teks tersebut kalau hanya berdiri sendiri karena memang masih bias kandungannya. Yang membuat teks syariah itu menjadi dzanniy banyak sebabnya, bisa karena memang dari sisi bahasa, teks tersebut punya arti yang lebih dari satu dan kesemua punya kekuatan dari segi pemakaian.

Atau mungkin karena memang kandungannya berseinggungan atau berselisih denga teks syariah lainnya. Atau bisa juga karena sumbernya yang masih diragukan; seperti hadits Ahad. Pada intinya, teks-teks syariah yang sifatnya dzanniy ini tidak mungkin bisa difahami dan tidak bisa digali hukum dari akndungannya kecuali dengan upaya penelitian yang lebih mendalam. Itu yang dinamakan dengan ijithad.

Fiqih = Teks Dzanniy = Ijtihad

Nah, di teks-teks dzanniy inilah para imam madzhab dan ulamanya bekerja. Artinya mereka memang bekerja menggali hukum dari teks-teks yang syariah itu sendiri tidak memberikan hukum secara pasti, karena memang sifatnya yang dzanniy. Kalau dibiarkan, tentu akan ada kekosongan hukum yang jelas sangat tidak membantu bagi orang awam. Maka dari itu, mereka; para imam beserta ulama madzhab meneliti, menelaah apa yang sejatinya dimaksud oleh Allah s.w.t. dan juga Rasul-Nya s.a.w. dari ayat dan juga hadits, untuk kemudian dihasilkan dari penelitian tersebut sebuah hukum. Itu yang disebut dengan ijtihad.

Itu yang disebut perkara ijtihadiy. Lapangannya adalah teks-teks dzanniy, yang bekerja di dalamnya adalah imam dan ulama madzhab. Pekerjaan disebut ijtihad, dan hasilnya dinamakan fiqih.

Contohnya ijtihad ulama madzhab dalam hal  menghitung masa iddah wanita yang tertalak oleh suaminya; apakah 3 kali masa hadih, atau 3 kali masa suci? Disebutkan dalam ayat dengan redaksi “Quru’”; yang dalam bahasa arab, bisa berarti masa suci, bisa berarti juga masa haidh. Atau juga ijtihad ulama madzhab terkait bismillah dalam shalat sebelum membaca al-Fatihah, disebabkan karena karena memang banyak dalil yang bersinggungan. Satu riwayat mengatakan baca, riwayat lain justru tidak. ini lapangan ijtihad yang mana ulama bekerja di dalamnya untuk kita; orang awam agar mudah memahami.

Maka dalam 2 hal di atas, atau lebih luasnya dalam hal fiqih, karena memang medan kerjanya adalah teks-teks dzanniy yang butuh Ijtihad, tidak bisa seseorang –siapapun itu- mengatakan bahwa masa Iddah wanita itu 3 masa haidh menurut syariat. Tidak! yang benar itu menurut madzhab fulan. Tidak juga kita katakan, membaca bismillah dikeraskan dalam shalat itu adalah yang benar menurut syariat. Tidak bisa! Itu benar menurut ijtihadnya imam fulan atau madzhab fulan; Karena memang syariah sendiri memberi peluang untuk diadakan ijtihad di dalamnya.

Ijtihad = Hasil Otak Bukan Wahyu

Dan yang namanya ijtihad itu kebenaran tidak mutlak dan tidak ditentukan pada ijtihad siapa. Yang benar-benar tahu di ijtihad mana kebenran itu berada hanyalah Allah s.w.t.. Ulama hanya menjalankan perintah, bahwa teks yang masih bias harus dijalankan ijtihad, tentu yang melaksanakan mereka yang kompeten. Maka kalimat yang masyhur dari kalangan imam mazdhab itu adalah “qouliy shawab, yahtamilu al-khatha’. Qoulu Ghairy Khatha’, Yahtamilu shawab” = “pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Pendapat selainku salah, tapi bisa jadi benar”.

Karena memang yang namanya ijihad itu hasilnya bisa jadi benar, bisa jadi salah. Tapi jika memamng dilakukan oleh pihak yang kompeten dan otoritatif, kesalahanya tidak berdosa akan justru mendapat pahala. Karena memang kebenarannya tidak pasti, tidak ada ulama yang berani menisbatkan pendapatnya kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Mungkin sampai sini bisa dipahami mengapa tidak ada ulama yang mengatakan dalam masalah fiqih “ini pendapat yang benar menurut al-Qur’an dan sunnah!”. Tidak ada!

Hukum fiqih yang dihasilkan adalah hasil kerja otaknya sendiri, yang bisa jadi salah bisa jadi benar. Dan otaknya itu terbatas, juga bukanlah patokan kebenaran dalam syariah. Meraka selalu mengatakan: “ini pendapatku, jika benar ini dari Allah. Jika salah ini dari diriku dan juga setan!. Sama sekali tidak ada dari mereka yang mematok kebenaran. Dan yang menyelisihnya salah, keliru, serta telah menyelisih syariah.

Kalau mereka menisbatkan pendapatnya itu kepada al-Quran dan sunnah, itu artinya ia menisbatkan sesuatu yang kebenarannya belum dipastikan kepada Allah s.w.t. dan Rasul s.a.w.. Itu artinya ia merasa bahwa otaknya itu adalah representasi dari apa yang diinginkan oleh Allah s.w.t dan Rasul-Nya s.a.w.. artinya, jika pendapatnya salah berarti ia telah menisbatkan kesalahan kepada Allah s.w.t. yang maha benar dan kepada Rasul s.a.w.. Dosa apa yang lebih besar dibanding menisbatkan kesalahan kepada Allah dan Rasul-Nya? Ini pelecehan kepada al-Quran dan sunnah namanya.

Allah Maha Benar Tidak Mungkin Salah

Jadi, para ulama madzhab menisbatkan pendapat ijtihadnya kepada diri mereka dan madzhab mereka sendiri tidak kepada al-Qur’an dan sunnah bukan mereka tidak berhukum dengan al-Quran dan sunnah. Tapi Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah sebuah kebenenaran yang Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.

Tapi justru dengan tegas mereka mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur seperti ini: “ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”

Dan ini adalah kebiasaan ulama salaf yang benar-benar salaf yang memang diwarisi dari para sahabat Nabi s.a.w.. Ini juga terekam oleh Imam Ibn Taimiyyah dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:

وَقَدْ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ وَغَيْرُهُمَا مِنَ الصَّحَابَةِ فِيْمَا يُفْتُوْنَ فِيْهِ بِاجْتِهَادِهِمْ: إِنْ يَكُنْ صَوَابًا فَمِنَ اللهِ وَإِنْ يَكُنْ خَطَأً فَهُوَ مِنِّي وَمِنَ الشَّيْطَانِ وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ بَرِيئَانِ مِنْهُ

“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”

Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.

Dan lebih jauh lagi, kalau menisbatkan pendapat pribadi kepada sunnah, itu berarti menjual nama Nabi s.a.w. agar pendapatnya ‘laku’, padahal sama sekali itu bukan Nabi yang mengatakan, nyatanya itu hasil dari otaknya yang terbatas, ingat bahwa berdusta atas nama Nabi s.a.w., hadiahnya adalah nereka.

وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)

Jadi, masih mau mencatut nama Allah s.w.t., dan Rasul-Nya s.a.w. agar pendapat pribadi dari otak yang dangkal ini ‘laku’ di depan khalayak awam? Silahkan jika memang mampu menandingi para sahabt juga ulama-ulama madzhab.

Wallahu a’lam.

Sumber Website : https://www.rumahfiqih.com/z.php?id=19 (26 January 2016 05:24)

Qoute Islam

Doa Islam