Hari Jumat dan Al-Kahfi

Hari Jumat dan Al-Kahfi - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Hari Jumat dan Al-Kahfi

 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Sahabat UAS, jangan lupa baca Surah Al Kahfi ya

"Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at." (HR. Al-Hakim: 2/368 dan Al-Baihaqi: 3/249)

Barakallahu fiikum

#kajianUAS #dakwahsunnah

Sumber Instagram : sahabatuasofficial
6 Februari 2020

Syukurilah Semua Yang Diberikan Allah

Syukurilah Semua Yang Diberikan Allah - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Syukurilah semua yang diberikan Allah SWT

"Syukurilah semua yang diberikan Allah Subhanahu wata'ala. Jika kamu masih hidup bersyukurlah masih melakukan amal sholeh. Jika kau mati bersyukurlah, setidaknya dosa mu tidak semakin bertambah."

Ustadz Dr. Abdul Somad, Lc.,M.A.

Sumber Instagram : uas_originalstore
6 Februari 2020

Menolak Kebenaran dan Menyampaikan Kebaikan

Menolak Kebenaran dan Menyampaikan Kebaikan - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Menolak Kebenaran dan Menyampaikan Kebaikan

Tidak setiap orang yang menolak kebenaran karena mengikuti hawa nafsu. Bisa jadi karena keburukan akhlak dari orang yang menyampaikannya. Banyak orang yang begitu ambisi memperbaiki orang lain, namun dia lupa untuk memperbaiki diri sendiri. Menyampaikan kebaikan itu hendaknya diiringi dengan cara penyampaian yang baik serta adanya qudwah hasanah (teladan yang baik) dari orang yang menyampaikannya. Makanan, selezat apapun jika dihidangkan dengan wadah yang kotor, tidak akan ada yang mau untuk memakannya.

@Abdullah Al-Jirani

Sumber FB : Abdullah Al Jirani
13 Agustus 2018·

Toleransi Dalam Fikih Itu Penting

Toleransi Dalam Fikih Itu Penting - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Toleransi Dalam Fikih Itu Penting

Semangat amar makruf nahi munkar itu harus diimbangi dengan pengetahuan fikih yang luas. Bila suatu perkara masih diperselisihkan boleh tidaknya, maka janganlah bersemangat untuk menyalahkan orang awam yang melakukannya. Selama masih mukhtalaf di antara ulama empat mazhab, maka santai saja tak perlu inkar. Bila mereka bertanya, barulah diarahkan ke mazhab yang berlaku di sana. Ini adalah tradisi yang dilakukan para imam terdahulu.

Abdul Wahab Ahmad

Sumber FB : Abdul Wahab Ahmad
8 Januari 2019 pukul 23.14 ·

Disiplin Itu Istiqomah

Disiplin Itu Istiqomah - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Disiplin Itu Istiqomah

Disiplin Itu Istiqomah. Istiqomah itu sumber karomah. Tiada kemuliaan tanpa istiqomah, tiada kemuliaan dunia akhirat tanpa disiplin.

Aa Gym

Sumber FB : KH. Abdullah Gymnastiar
6 November 2018 pukul 14.11 ·

Sahabat, Marilah Kita Perbanyak Membaca Al-Quran

Sahabat, Marilah Kita Perbanyak Membaca Al-Quran - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Sahabat, Marilah Kita Perbanyak Membaca Al-Quran

"Tidak berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Alloh SWT, sedang mereka membaca kitab-Nya dan mengkajinya, melainkan mereka akan di limpahi ketenangan, dicurahi rahmat, diliputi para malaikat, dan disanjungi oleh Alloh di hadapan para makhluk dan di sisi-Nya." (HR. Abu Dawud)

KH. Abdullah Gymnastiar
5 November 2018 pukul 16.31 ·

Fiqih Sosial

Fiqih Sosial - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Fiqih Sosial

Beragama itu tidak hanya sebatas ritual ibadah, menghafal Quran, tunggang tungging rukuk sujud atau bolak-balik ibadah ke tanah suci.

Membuang duri dari jalan pun bagian dari agama. Padahal cuma sekecil duri doang. Bagaimana kalau sebesar mobil pribadi, ditarok di jalan milik umum? Seharusnya lebih dihindari.

Itu namanya fiqih sosial, bro.

Ahmad Sarwat

Sumber FB : Ahmad Sarwat
11 Januari 2020 (4 menit ·)

Berfikir Logis Itu Penting

Berfikir Logis Itu Penting - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Berfikir Logis Itu Penting

Jika ulama level mujtahid mutlak seperti Imam Syafi'i dan selainnya bisa salah, lebih-lebih yang hanya level ustadz. Jika pendapat ulama mujtahid mutlak bukan dalil, lebih-lebih hanya pendapat ustadz. Jika mengikuti pendapat ustadz boleh mengkalim diri paling benar, lebih-lebih mengikuti ulama mujtahid mutlak. Jika taqlid ke ustadz boleh, lebih-lebih ke ulama mujtahid mutlak. Mari membiasakan diri berfikir logis, agar kita mampu membedakan dan mengkritisi berbagai perkara dengan adil dan jauh dari sifat "keakuan".

@Abdullah Al-Jirani

Sumber FB : Abdullah Al Jirani
26 Juli 2018 pukul 10.00 ·

Tanda Keberuntungan

Tanda Keberuntungan - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Tanda Keberuntungan

Semakin bertambah ilmunya,
semakin rendah hati....
Semakin bertambah amal shalihnya,
semakin khawatir dan berhati-hati...
semakin berkurang sifat rakusnya 
terhadap dunia...
Semakin bertambah hartanya,
semakin banyak memberi...
Semakin tinggi pangkat dan
kedudukannya, semakin dekat dan 
semakin banyak membantu orang
lain...(Al-Badai' :204)

-@abdullah al-jirani

Sumber FB : Abdullah Al Jirani
27 Maret 2018·

Berbeda Tapi Tetap Bersaudara

Berbeda Tapi Tetap Bersaudara - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Berbeda Tapi Tetap Bersaudara

Perbedaan pedapat dalam masalah furu'iyyah (cabang agama), 
baik dalam hal aqidah atau fiqh ibadah, berkonsekwensi empat hal : tidak boleh memaksakan pendapat kepada orang lain, saling menghormati, tidak boleh saling menyesatkan, dan tidak boleh membangun wala' (loyalitas) serta bara' (kebencian) di atasnya. Inilah manhaj Salaf. Jika tenyata sebaliknya, berarti belum mengerti apa dan bagaimana manhaj Salaf yang sesunguhnya.

~@abdullah al-jirani

Sumber FB : Abdullah Al Jirani
11 Maret 2018 pukul 13.23 · 

Keutamaan Ibadah Haji dan Umroh

Keutamaan Ibadah Haji dan Umroh - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Keutamaan Ibadah Haji dan Umroh

“Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga" (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Sumber FB : KH. Abdullah Gymnastiar
4 November pukul 17.34 ·

Ilmu dan Hikmah

Ilmu dan Hikmah - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Ilmu dan Hikmah

Ilmu tanpa hikmah akan liar, hikmah tanpa ilmu akan tersesat

Salah satu ciri keberhasilan dakwah seorang da'i apabila dia mampu membentuk jama'ahnya untuk berlapang dada dan menghargai pendapat orang lain dalam masalah khilafiyyah.

Karena berarti dia telah mampu menanamkan ilmu sekaligus hikmah.

-@abdullah al-jirani

Sumber FB : Abdullah Al Jirani
26 Maret 2018 pukul 06.51 ·

Bayangkan Rasulullah

Bayangkan Rasulullah - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Bayangkan! Rasulullah...

هل تؤلمك أسنانك؟
رسول الله كسرت رباعيته!
هل اهتمت بشيئ لم تفعله؟
رسول الله اتهم بالسحى والجنون

Saat kamu mengeluh sakit gigi ?
Bayangkan Rasulullah yang patah giginya (saat berperang dijalan ) Allah

Saat kamu difitnah ?
Bayangkan Rasulullah yang dituduh penyihir dan orang gila

Sumber FB : Syekh Ali Jaber

Anugerah atau Musibah?

Anugerah atau Musibah? - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Anugerah atau Musibah?

Imam Asy-Syafi'i ditanya: kondisi apa yang paling Allah sukai, anugerah kah atau musibah?

Maka beliau menjawab: anugerah tidak akan datang kecuali setelah datangnya musibah

Jadi, bersabarlah terhadap musibah maka Allah akan membuat bahagia dengan anugerah-Nya.

Sumber FB : Syekh Ali Jaber
22 Januari pukul 13.16

Jangan Pernah Berputus Asa

Jangan Pernah Berputus Asa - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Jangan Pernah Berputus Asa

Karena sebesar apapun dosa, kalai bertemu dengan ampunan Alloh, ampunan Alloh lebih luas, lebih besar daro dosa yang dilakukan hamba-Nya.

Aa Gym

Sumber FB : KH. Abdullah Gymnastiar
2 November 2018 pukul 18.07 ·

Membantu Dengan Bantuan Terbaik

Membantu Dengan Bantuan Terbaik - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Membantu Dengan Bantuan Terbaik

"Barangsiapa menghilangkan kesulitan dari seseorang muslim dari kesulitan-kesulitan dunia, maka Alloh akan menghilangkan kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Alloh akan selalu menolong seseorang selama ia menolong orang lain." (HR. Muslim)

Sumber FB : KH. Abdullah Gymnastiar
1 November 2018 pukul 14.13 ·

Mari Perbanyak Dzikrullah Di Hari Jumat

Mari Perbanyak Dzikrullah Di Hari Jumat - Qoutes - Kajian Islam Tarakan
Mari Perbanyak Dzikrullah Di Hari Jumat

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Al-Jumu’ah 64:9)

Alhamdulillah... kita dipertemukan kembali lagi dengan Hari spesial ini. Dan seperti yang kita sudah ketahui, bahwa di hari inilah keutamaan-keutamaan dalam amal dapat diperoleh lebih banyak.

Salah satu amalan yang tidak boleh terlewat adalah dengan memperbanyak dzikrulloh. Baik dimana pun kita berada maka perbanyaklah untuk dzikrulloh, terutama ketika hendak sholat.

Karena sesungguhnya, dalam Al-Quran kita diperintahkan untuk menyegerakan mengingat Alloh ketika kita hendak menjalankan ibadah sholat.

#aagym #quotesaa #tauhiid #islam #rahmatanlilalamin #dakwahsunnah #dakwah #dakwahtauhid #dakwahislam #ceramah #tausiyah #yukhijrah #hijrah #hijrahcinta #pemudahijrah #hijrahku #beranihijrah #hijrahyuk #alquran #motivasi

Sumber FB KH. Abdullah Gymnastiar
2 November 2018 pukul 11.52 ·

Puasa Rajab, Sunnah atau Bidah?

Puasa Rajab, Sunnah atau Bidah? - Kajian Sunnah Tarakan
Puasa Rajab, Sunnah atau Bid’ah?

Oleh: Ustadz Yusuf Suharto*

Dalil Kesunnahan Puasa Rajab

“Utsman bin Hakim al-Anshariy bertanya pada Said bin Jubair mengenai puasa Rajab, sedangkan saat itu kami berada pada bulan rajab maka ia menjawab: Kami mendengar bahwa Ibn Abbas RA berkata:

 كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول لا يفطر ويفطر حتى نقول لا يصوم

“Rasul SAW berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak meninggalkan puasa (puasa terus), dan Rasul SAW tidak berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak berpuasa” [HR Muslim].

Setiap menjelang memasuki bulan Rajab, pro kontra hukum puasa Rajab mencuat dan menjadi topik pembicaraan yang hangat dimana-mana. Pihak yang pro mengatakan puasa rajab adalah sunnah sementara pihak yang kontra malah mengatakan bid’ah. Untuk mengurai hakikat sebenarnya hukum puasa rajab saya memilih untuk mengemukakan hadis di atas dengan disertai penjelasan para ulama yang kredibel tentunya.

Imam Nawawi menjelaskan maksud hadis di atas: “Yang jelas bahwasannya maksud dari Sa’id bin Jubair mengemukakan dalil di atas (Rasul SAW puasa dan tidak) adalah bahwa tidak ada larangan dan tidak ada pula anjuran secara khusus puasa pada Rajab, tetapi hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya. Tidak ada ketetapan larangan dan kesunnahan untuk puasa rajab tetapi asalnya puasa adalah sunnah. Dalam sunan Abi Dawud diriwayatkan, bahwasannya Rasul SAW menganjurkan puasa pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan mulia yaitu Dzul qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), sedangkan bulan rajab adalah salah satunya.” [Syarah Muslim]

Di sisi lain, pelarangan terhadap puasa Rajab juga telah menjadi kabar yang simpang siur sejak dahulu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut:

“Abdullah, budak Asma binti Abu Bakar dan dia adalah paman anak Atha, berkata: “Asma menyuruhku menemui Abdullah bin Umar untuk menyampaikan pesan beliau:

 بلغني أنك تحرم أشياء ثلاثة العلم في الثوب وميثرة الأرجوان وصوم رجب كله

‘Telah sampai kepadaku berita bahwa kamu mengharamkan tiga perkara: lukisan pada kain (sulaman sutera), bantal bewarna ungu, dan puasa bulan Rajab seluruhnya’.

Abdullah bin Umar memberikan klarifikasinya kepadaku:

أما ما ذكرت من رجب فكيف بمن يصوم الأبد

Adapun mengenai puasa bulan Rajab yang kau sebutkan, maka bagaimana dengan seorang yang puasa terus menerus sepanjang masa?“. [HR Muslim]

Imam Nawawi Menjelaskan:

 أما جواب ابن عمر في صوم رجب فإنكار منه لما بلغه عنه من تحريمه ، وإخبار بأنه يصوم رجبا كله ، وأنه يصوم الأبد. والمراد بالأبد ما سوى أيام العيدين والتشريق

Jawaban Ibnu Umar mengenai puasa rajab tersebut merupakan penolakan atas kabar larangan puasa Rajab yang disinyalir bersumber dari dirinya bahkan jawabannya merupakan pemberitahuan bahwa ia sendiri melakukan puasa Rajab sebulan penuh dan puasa selamanya yakni puasa sepanjang tahun selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq. [Syarah Muslim]

Maka kesimpulan Imam Nawawi di atas, saya kira sebagai kunci dan titik temu di antara dua kelompok di atas yaitu “Tidak ada ketetapan larangan dan kesunnahan untuk puasa rajab tetapi asalnya puasa adalah sunnah”.

Puasa kapanpun (selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq) termasuk di bulan Rajab adalah ibadah yang berpahala. Rajab menjadi istimewa karena ia adalah bulan yang suci dan mulia

Puasa Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab adalah bulan ke tujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shalallah ‘alaih wasallam untuk menerima perintah shalat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini. Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab. Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan.

Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. at-Taubah: 36)

Hukum Puasa Rajab

Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat (tapi kemudian riwayat mawquf Ibn Umar dalam Sahih Muslim justru menguatkan bahwa Ibn Umar alih-alih memakruhkan, bahkan beliau berpuasa Rajab sebulan penuh).

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia).”(Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa’i dan Abu Dawud (disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): “Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya’ban. Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang”.

Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, “Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang” itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.
Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih Imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda: “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-Muharram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab)“.

al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan-bulan haram yaitu Dzulqa’dah, Dzul hijjah, Rajab dan Muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan Muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan “Memang benar tidak satupun ditemukan hadis shahih mengenai puasa Rajab. Namun telah jelas dan sahih riwayat bahwa Rasul SAW menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram. Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

Hadis Keutamaan Rajab

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab: Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:

“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

“Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan.”

Riwayat al-Thabarani dari Sa’id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya…..“

“Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut”. Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Rajab itu bulannya Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku“.

Sabda Rasulullah SAW: “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakah sungai ini ?” Maka berkata Jibril a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.

Mengamalkan Hadis Daif Rajab

Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi li al-Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha’if (lemah atau kurang kuat).
Namun, dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).

Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al-‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- Tadzkirah mengatakan: “Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain.”

*Penulis adalah Ketua Aswaja NU Center Jombang dan Pengasuh Rubrik Aswaja dan Ke-NU-an di Tebuireng Online

Sumber Web : https://tebuireng.online/puasa-rajab-sunnah-atau-bidah/ (9 April 2016)

Sunnah dan Bidah Dalam Pandangan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asyari

Sunnah dan Bid’ah Dalam Pandangan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Kata as Sunnah (السُّنَّة), sebagaimana dikatakan oleh Abul Baqaa dalam kitab Kulliyaat-nya- menurut etimologi berarti jalan atau cara, walaupun tidak diridhai, sedangkan menurut terminologi syara’ as Sunnah ialah sebutan bagi jalan atau cara yang diridhai dalam menempuh agama, yakni jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW atau orang-orang memiliki otoritas sebagai panutan dalam masalah agama, seperti para sahabat Nabi. Nabi Muhammad  SAW. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

Artinya: “Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mengikuti jalan yang benar (khulafa’ ar rasyidin) sepeninggalku.”

Dari kacamata terminologi ‘urf (kebiasaan) as Sunnah berarti sesuatu yang dilakukan secara rutin oleh orang yang patut diteladani, baik seorang nabi maupun seorang wali. Sedangkan kata sunni (سُنِّيّ) adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada as-sunnah. Huruf ta (ة) dihilangkan untuk kepentingan nisbah.

Lafadz al Bid’ah (البِدْعَة) menurut Syaikh Zaruq dalam kitab “Uddatu al Murid” dari sudut pandang terminologi syara’ adalah: “Menciptakan hal baru dalam perkara agama yang seolah-olah ia merupakan bagian dari perkara agama. Padahal, sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun hakikatnya. Karena Nabi Muhammad SAW. bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa menciptakan suatu hal baru dalam urusan kami ini (urusan agama), yang bukan bagian dari agama, maka ia tertolak.”

Dalam hadis lain:

وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

“Setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah.”

Para ulama menjelaskan bahwa makna yang terkandung di dalam dua hadis diatas merujuk kepada tindakan merubah hukum dengan cara menganggap sesuatu yang bukan merupakan bagian dari ibadah dianggap sebagai bagian dari sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum. Karena boleh jadi perkara itu telah tercakup oleh pokok-pokok syari’at (ushul) sehingga perkara itu dalah bagian dari syariat itu sendiri. Atau perkara tersebut telah tercakup dalam cabang-cabang syari’at (furu’) sehingga perkara itu dianalogikan sebagai syari’ah.

Syaikh Zarruq membagi parameter ukuran bid’ah menjadi tiga.

Pertama, perkara yang diada-adakan itu harus dilihat dari dalil-dalilnya Jika sebagian besar syari’at dan pokok-pokoknya mendukungnya, maka perkara itu bukan bid’ah. Jika perkara itu termasuk yang ditolak dengan alasan apapun, maka perkara itu adalah batil dan sesat. Jika dalil-dalil yang ada tidak memberikan kepastian hukum bagi perkara itu, atau perkara itu diselimuti syubhat dan dalil-dalil yang ada terlihat sama, maka dalil-dalil itu harus ditimbang. Dalil yang lebih kuat dijadikan sebagai rujukan.

Kedua, ialah mempertimbangkan kaidah-kaidah yang diakui oleh para imam dan generasi salaf umat yang mengikuti jalan sunnah. Perkara yang bertentangan dengan kaidah-kaidah tersebut dari segala sisi tidak boleh dijalankan. Perkara yang sesuai dengan prinsip-prinsip mereka adalah benar, meskipun mereka berbeda pendapat tentang perkara itu, baik dalam tataran cabang maupun pokok. Maka masing-masing mengikuti landasan dan dalilnya masing-masing.

Salah satu kaidah mereka menyatakan bahwa sesuatu yang diamalkan oleh generasi salaf dan diikuti oleh generasi khalaf tidak boleh disebut bid’ah atau tercela. Sedangkan sesuatu yang sama sekali mereka tinggalkan dengan alasan apapun maka tidak dapat disebut sunnah atau terpuji. Adapun sesuatu yang landasan pokoknya mereka tetapkan tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka pernah melakukannya, menurut Imam Maliki itu adalah bid’ah. Sebab, mereka tidak mungkin meninggalkannya tanpa alasan tertentu yang mereka miliki.

Namun Imam asy Syafi’I memiliki pandangan berbeda. Meskipun tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf, perkara itu tidak bisa (serta-merta) disebut bid’ah. Sebab, boleh jadi mereka (ulama salaf) tidak melakukannya karena adanya udzur (halangan) yang terjadi pada waktu itu, atau karena ada alternatif lain yang lebih baik. Sementara hukum diambil dari syari’ (pembuat syari’at), dan dia telah menetapkannya.

Selain itu para ulama juga berbeda pendapat tentang sesuatu yang tidak ditemukan dalil dari as Sunnah yang menentangnya atau membuatnya menjadi syubhat (samar). Manurut Imam Malik, itu adalah bid’ah, sedangkan menurut Imam asy Syafi’i, itu bukanlah bid’ah. Asy Syafi’i mendasarkan pendapat ini pada sebuah Hadis yang menyatakan:

وَمَا تَرَكْتُهُ لَكُمْ فَهُوَ عَفْوٌ.

”Dan apa yang kutinggalkan itu adalah dimaafkan”.

Atas dasar inilah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, contonya mengenai pengadaan kantor administrasi, berdzikir dengan suara keras, berkumpul dan berdo’a (bersama). Sebab, di dalam hadis terdapat anjuran untuk itu, tetapi tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa hal itu pernah dilakukan oleh generasi salaf. Maka orang yang menyepakati hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai pembuat bid’ah oleh orang yang berpandangan lain. Hal itu karena ia memutuskan hukum berdasarkan hasil ijtihad yang tidak boleh dilanggarnya.

Seseorang juga tidak boleh menyatakan bahwa pendapat yang berseberangan dengannya adalah batil, karena adanya syubhat. Seandainya pembid’ahan dan pembatilan itu boleh dilakukan, konsekwensinya ialah menganggap seluruh umat ini telah melakukan bid’ah. Padahal sudah diketahui bersama bahwa hukum Allah bagi orang yang berijtihad tentang masalah furu’ ialah apa yang berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri. Sebaiknya kita katakan bahwa yang benar adalah satu atau lebih dari satu. Karena Rasulullah SAW pernah bersabda:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِى بَنِى قُرَيْظَةَ

“Jangan sekali-kali seseorang (di antara kalian) menunaikan Shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraidzah”.

Hadis itu berawal dari sebuah cerita sahabat dan Rasulullah SAW mendapati waktu Ashar di tengah jalan. Maka sebagian dari mereka berkata: ‘Kita diperintahkan untuk bergegas’. Dan mereka pun menunaikan Shalat Ashar di tengah jalan. Sementara yang lain berkata: ‘Kita diperintahkan untuk menunaikan shalat ashar di sana’. Maka mereka pun menunda shalat ashar (sampai tiba di tempat Bani Quraidzah). Ternyata Rasulullah SAW tidak mencela siapapun dari mereka. Hal itu menunjukkan keabsahan mengamalkan apa yang dipahami dari syari’ (pembuat syari’at) manakala tidak didasarkan pada bisikan hawa nafsu.

Ketiga, ialah parameter pemilahan yang didasarkan pada saksi-saksi hukum. Parameter ini sifatnya terperinci. Parameter ini terbagi menjadi enam macam sebagaimana macam-macamnya hukum syariat, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Karena itulah Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima, antara lain:

Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.

Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.

Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.

Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.

Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”

Maka setiap hal baru yang condong ke ashal (hukum) tertentu dengan cara yang benar dan jelas, tidak jauh, dapat digabungkan (baca: disamakan hukumnya) dengan ashal tersebut. Sedangkan yang tidak (condong ke ashal tertentu dengan cara yang benar dan jelas) adalah bid’ah. Parameter inilah yang dijadikan sebagai pedoman oleh banyak ulama. Mereka menggolongkannya ke dalam bid’ah dari segi bahasa untuk memudahkan pemahaman. Wallahu a’lam.

Kemudian Syaikh Zarruq mengatakan: “Bid’ah dibagi menjadi 3 macam:

Bid’ah Sharihah (bid’ah yang nyata). Yaitu bid’ah yang ditetapkan tanpa dalil syar’i dan berseberangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh dalil syar’i, baik wajib, sunnah, mandub maupun lainnya, sehingga bid’ah itu mematikan sunnah Nabi SAW atau membatalkan perkara yang benar. Ini adalah bid’ah yang paling buruk. Meskipun bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari dalil-dalil pokok (ushul) maupun dalil-dalil cabang (furu’) tetap tidak dapat diakui keabsahannya.

Bid’ah Idlofiyah (bid’ah yang ditambahkan). Yaitu bid’ah yang disandarkan kepada suatu perkara yang jika perkara tersebut dapat diterima maka tidak sah mempertentangkan statusnya sebagai sunnah atau bukan bid’ah tanpa khilaf atau menurut khilaf yang telah disebutkan di muka.

Bid’ah Khilafiyah (bid’ah yang diperselisihkan). Yaitu perkara yang didasarkan pada dua dalil yang saling tarik-menarik. Bagi yang memegang teguh dalil yang ini, perkara itu adalah bid’ah. Sebaliknya, bagi yang memegang teguh dalil lain yang berseberangan, perkara itu adalah sunnah. Seperti pembuatan kantor administrasi dan dzikir berjamaah yang telah disebutkan di muka.”
Al Allamah Muhammad Waliyuddin Asy Syabtsiri -dalam Syarah al Arba’in an Nawawiyah- mengomentari sabda Nabi SAW:

مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا ، أَوْ آوَى مُحْدِثًا ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ

“Barangsiapa yang mengadakan hal baru atau melindungi orang yang mengadakan hal baru, ia akan mendapatkan laknat dari Allah.”

Masuk dalam kerangka interpretasi hadis ini yaitu segala bentuk akad-akad fasidah (rusak), menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan kasus lainnya dari berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’. Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadis ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat perbandingan yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya, kecuali sebatas persangkaan mujtahid, seperti menulis Mushaf, mengsarikan pendapat-pendapat imam madzhab, menyusun kitab nahwu dan ilmu hisab.

Jika kita mengerti terhadap apa yang telah diuraikan di atas, maka anda pasti tahu bahwa apa yang dicap bid’ah –seperti seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian, dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah. Sebaliknya, sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh (pungutan secara liar) dari pasar-pasar malam, bermain undian (taruhan) dalam pertunjukan gulat (semacam bola dan pertandingan lain) dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid’ah.

(* Disarikah dari Risalah Ahlusunnah Wal Jama’ah Karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Sumber Web : https://tebuireng.online/sunnah-dan-bidah-dalam-pandangan-hadratussyaikh-kh-m-hasyim-asyari/ (31 Mei 2016)

Keutamaan Puasa Ramadan dan Enam Sunnah Syawal

Keutamaan Puasa Ramadan dan Enam Sunnah Syawal

Oleh: Ustadz Yusuf Soeharto

Syekh Sufyan al-Tsaury bercerita, “Saya tinggal di Mekah selama tiga tahun. Ada seorang lelaki penduduk Mekah di setiap siang hari datang ke Masjid, kemudian tawaf dan salat dua rakaat. Setelah selesai salat, ia mengucapkan salam kepada saya. Kemudian dia pulang ke rumahnya. Dengan peristiwa ini, dalam hati saya timbul rasa senang, dan cinta sehingga saya berulang kali datang kepadanya.

Pada suatu hari ia sakit dan mengundang saya untuk datang kepadanya. Ia kemudian berkata, ‘Jika nanti meninggal dunia, saya minta engkau memandikan, mensalati, kemudian memakamkan saya. Jangan tinggalkan saya sendirian di kuburan pada malamnya, dan talqinlah saya dengan kalimah tauhid ketika ditanya malaikat Munkar Nakir.’

Saya pun menyanggupinya.

Ketika ia meninggal, saya melakukan seperti apa yang ia minta dan saya pun bermalam di sisi kuburannya. Pada malam itu, ketika saya antara tidur dan terjaga, terdengar suara dari atas memanggil saya, ‘Wahai Sufyan. Dia tidak perlu penjagaanmu, talqinmu, dan penemananmu, karena saya sudah menemani dan menalqinnya.’

Lalu saya bertanya, ‘Dengan apa?’ Suara itu menjawab, ‘Dengan puasanya pada bulan Ramadhan dan susulan enam hari puasa sunnah Syawal.’

Lalu saya terbangun dan saya tidak melihat seorangpun di dekat saya. Lalu saya berwudhu dan salat, hingga saya tertidur.

Suara itu pun terdengar lagi hingga tiga kali. Sehingga saya pun tahu bahwa suara itu bukan dari setan. Kemudian saya meninggalkan kuburan itu dan saya berdoa,

اللهم وفقني لصيام ذلك بمنك وكرمك أمين.

“Ya Allah, tolonglah saya untuk dapat berpuasa seperti itu, dengan anugerah dan kemurahan-Mu. Aamiin.”

Dengan cerita ini nyatalah kebenaran bahwa yg menemani manusia ketika sudah meninggal dunia itu adalah semata amal ibadahnya selama di dunia. Semoga kita istiqamah beribadah wajib dan sunnah, contohnya dengan berpuasa Ramadhan yang disusuli dengan puasa sunnah enam Syawal.

*Sumber: An-Nawadir, terbitan al-haramain karya Syekh Al-Qalyuby, hal. 23-24.

Sumber Web : https://tebuireng.online/keutamaan-puasa-ramadan-dan-enam-sunnah-syawal/ (7 Juni 2019)

kajian sunnah tarakan

Hukum Makan dan Minum Saat Puasa Sunnah Demi Hormati Tamu

Hukum Makan dan Minum Saat Puasa Sunnah Demi Hormati Tamu - Kajian Sunnah Tarakan
Hukum Makan & Minum saat Puasa Sunnah Demi Hormati Tamu

Oleh: Ustadz Zaenal Karomi

Assalamu’alaikum Wr Wb

Saya dalam kondisi puasa Sunnah dan pada saat itu ada undangan yang di dalamnya ada hidangan makanannya. Bagaimana tindakan kita, menghormati tamu dengan memakan hidangan tersebut atau tetap berpuasa? Dan saya pernah mendengar kalau tidak apa-apa makan dan meneruskam puasanya (puasa tidak batal) dengan tujuan menghormati tamu, apakah itu benar? Mohon penjelasannya.

Najam as Tsaqib, Jember

Wa’alaikum salam Wr Wb

Terima kasih atas pertanyaan yang dipercayakan kepada kami. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin. Adapun penjelasan jawaban dari pertanyaan anda adalah sebagai berikut:

Mengamalkan puasa sunnah dianjurkan dalam ajaran Islam guna menambah ketakwaan kepada Allah SWT serta mendidik umat Islam supaya dapat mengontrol seluruh hawa nafsu dan mendidik diri agar dapat menguasai diri, sehingga mudah membiasakan amal kebaikan dan meninggalkan larangan ajaran Islam.

Lalu bagaimana dengan permasalahan di atas? Orang yang puasa Sunnah diperbolehkan untuk tetap melaksanakan puasanya dan membatalkannya. Keterangan tersebut sesuai dengan hadis Nabi shallahu ‘alaihi wasallama dalam kitab sunan at Turmudzi sebagai berikut;

 حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود حدثنا شعبة : قال كنت أسمع سماك بن حرب يقول أحد ابني أم هانئ حدثني فلقيت أنا أفضلهما وكان إسمه جعدة وكانت أم هانئ جدته فحدثني عن جدته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فدعى بشراب فشرب ثم ناولها فشربت فقالت يا رسول الله أما إني كنت صائمة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم الصائم المتطوع أمين نفسه إن شاء صام وإن شاء فطر.

Hadis tersebut menerangkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallama masuk ke rumah Umu Hani’ kemudian beliau (Rasul) diundang untuk jamuan minuman, maka Nabi meminumnya. Kemudian Nabi menawarkan minuman kepadanya (Umu Hani’) dan ia berkenan untuk meminumnya. Selanjutnya, ia berkata kepada Nabi, “Yaa Rasulullah sesungguhnya saya orang yang berpuasa”. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Orang yang puasa sunah itu mempercayakan dirinya. Dalam artian jika berkehendak puasa maka berpuasalah dan jika berkehendak membatalkan maka batalkanlah.

Selain itu menurut madzhab Syafi’i yang menjadi rujukan kebanyakan orang Indonesia, bahwa diperbolehkan menikmati hidangan untuk menghormati pemilik makanan dan termasuk di antara udzur yang masyru’ bagi orang yang berpuasa sunah. Pendapat ini berdasarkan keterangan kitab fathul mu’in berikut.

فروع) يندب الأكل في صوم نفل ولو موءكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى .  قال الغزالي يندب أن ينوي بفطره إدخال السرور عليه ويجوز للضيف أن يأكل مما قدم له بلا لفظ من المضيف

Disunnahkan untuk menikmati hidangan dalam puasa sunah meskipun dianjurkan demi keridhoan pemilik makanan. Jika dikhawatirkan tidak menikmati hidangan tersebut (menahan puasanya) dapat menyinggung perasaan pemilik tersebut, meskipun di akhir siang hari karena ada perintah untuk membatalkan puasa dan dia akan mendapatkan pahala puasa yang sudah lewat dan dianjurkan mengqodho pada hari lain sebagai gantinya. Jika tidak menyebabkan tersinggung pemilik makanan maka disunnahkan tidak membatalkannya (lebih utama tetap berpuasa). Imam Ghazali telah berkata: disunnahkan berniat untuk untuk menyenangkan perasaan pemilik hidangan pada saat membatalkan puasa. Bagi tamu diperbolehkan menikmati makanan yang telah dihidangkan meskipun belum dipersilahkan dengan ucapan dari tuan rumah.

Puasa sunnah tidak ada paksaan di dalamnya. Jadi membatalkan juga tidak apa-apa, meneruskan juga tidak apa-apa. Kultur masyarakat kita memang sangat sopan dan ramah terhadap tamu. Sehingga memunculkan dilematis seperti yang anda rasakan, ketika puasa sunnah sedangkan tamu datang dan tidak berpuasa, atau kita yang sedang bertamu. Dalam Madzhab Syafi’i memperbolehkan memakan hidangannya, tetapi dapat mengganti puasa tersebut di hari lain. Walau batal, shaim mendapatkan pahala puasa sunnah tersebut.

Namun, hukum ini hanya berlaku bagi puasa sunnah, seperti puasa senin kamis, puasa 6 hari di bulan syawal, puasa tarwiyah arafah, dll. Adapun dalam puasa wajib, tidak ada pengecualian, bagi orang yang puasa, makan dan minum hidangan jamuan untuk menghormati tamu. Ketika makan atau minum maka apabila sengaja, bukan karena lupa, maka puasanya batal.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan dan bermanfa’at. Wallahu ‘alam bis shawab.

Tanya Jawab Agama
Fikih

Ustadz Zaenal Karomi
Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari semester akhir.

Sumber Web : https://tebuireng.online/hukum-makan-minum-saat-puasa-sunnah-demi-hormati-tamu/ (8 Agustus 2019)

kajian sunnah tarakan

Amaliah Sunnah Al Quran Pada Malam dan Hari Jumat

Amaliah Sunnah Al Quran Pada Malam dan Hari Jumat - Kajian Sunnah Tarakan
Amaliah Sunnah Al Quran pada malam dan hari Jumat

Oleh: Izza el-Mufidati

Tidak asing bagi kita bahwa hari Jumat dikatakan sebagai hari yang penuh berkah atau Jum’ah Mubarok. Lantas amaliah apa saja yang yang disunnahkan terkait al-Qur’an pada malam Jumat atau hari Jumat?

Amaliah yang pada malam Jumat atau hari Jumat yang disunnahkan terkait al-Qur’an yaitu membaca surat al-Kahfi, sebagaimana hadis:

من قرأ سورة الكهف يوم الجمعة أضاء له من النور ما بينه وبين البيت العتيق

“Barangsiapa membaca Surat al-Kahfi di hari Jumat, maka Allah menwrangi cahaya antara orang tersebut dengan Ka’bah.” (HR. al-Baihaqi. Sanadnya Shahih)

Lantas bagaimana amaliah membaca surat Yasin di malam Jum’at? Menurut Ahli hadits Syaikh al-Manawi, amaliah di malam atau hari Jumat tidak hanya surat al-Kahfi, tetapi ada surat lain, yakni membaca surat Yasin:

من قرأ سورة يس والصافات ليلة الجمعة أعطاه الله سؤله

“Barangsiapa membaca surat Yasin dan Shaffat di malam Jumat, maka Allah memberikan kepadanya permintaannya.” (HR. Abu Dawud dari Ibn Abbas. Abdurrauf al-Munawi)

Selain itu, ada beberapa hadis yang menjelaskan mengenai keutamaan membaca surat Yasin:

“Dari Ma’qil bin Yasar r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Surat al-Baqarah adalah puncak keutamaan al-Quran, setiap ayatnya disertai delapan puluh malaikat, dan Ayatul Kursi dikeluarkan dari bawah ‘Arasy lalu bergabung bersamanya atau bergabung dengan surat al-Baqarah, sedangkan Yasin adalah inti Al-Qur’an tidaklah seseorang membacanya semata-mata karena menginginkan ridha Allah dan akhirat melainkan ia akan diampuni, dan bacakanlah ia untuk orang-orang yang meninggal di antara kalian.” (HR. Ahmad)

Dari Anas r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda:

لكل شىء قلب وإن قلب القرآن و يس ، . ومن قرأ ديس ، كتب له بقراءته قراءة القرآن عشر مرات

“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki inti dan inti al-Qur’an adalah Yasin, barangsiapa yang membaca surat Yasin, maka Allah menuliskan baginya dikarenakan membacanya, pahala membacanya sebanyak sepuluh kali.” (HR. Tirmidzi)

Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

من قرأ يس ابتغاء وجه الله غفر الله له

“Barangsiapa yang membaca Yasin pada suatu malam hanya karena Allah, maka ia akan di ampuni.” (HR. Ibnu Hibban)

Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Do'a dan Amalan

Izza el-Mufidati
Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al Urwatul Wutsqo (STIT-UW) Jombang
**Disarikan dari berbagai sumber

Sumber Web : https://tebuireng.online/amaliah-sunnah-al-quran-pada-malam-dan-hari-jumat/ (22 November 2019)

kajian sunnah tarakan

Anjuran Menyembunyikan Puasa Sunnah

Anjuran Menyembunyikan Puasa Sunnah - Kajian Sunnah Tarakan
Anjuran Menyembunyikan Puasa Sunnah

Oleh: Silmi Adawiya

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Puasa yang dilakukan dengan menahan lapar dan dahaga seharian mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Rasulullah menjelaskan bahwa puasa juga merupakan perisai bagi umatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ

“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih).

Begitupun dengan puasa sunnah yang merupakan satu kebaikan yang bisa dilakukan kapan saja. Namun bagaimanakah sikap seorang muslim yang baik ketika sedang berpuasa sunnah? Sedangkan pada waktu tersebut banyak agenda rapat dan silaturahmi. Berterus terangkah jika saya sedang berpuasa? Ataukah hendaknya menyembunyikan puasanya?



Dikisahkan bahwa Ibrahim bin Ad-ham jika diajak makan sedangkan ia sedang berpuasa, maka ia tidak mengatakan “Maaf saya sedang berpuasa”. Begitulah yang dicontohkan sebagian ulama salaf. Mereka sering menyembunyikan puasa sunah ataupun amalan lainnya tidak wajib hukumnya.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri (amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.).” (HR. Muslim no. 2965).

Dalil di atas menerangkan bahwa Allah menyukai amalan yang tidak ditampakkan oleh hambanya. Semisal puasa dan sedekah yang disembunyikan dari orang-orang sekitarnya. Ia tidak menginginkan pujian atau dugaan yang bagus dari orang lain. Yang diharapkan hanyalah ridla Allah. oleh karena itu ia merahasiakan semuanya kecuali pada Allah.

Puasa sunnah dianjurkan untuk menyembunyikan status puasanya. Bahkan seharusnya ia tidak memamerkan puasanya kepada lainnya. Sebagaimana Allah melarang hambanya untuk menyebutkan sedekahnya kepada lainnya. Tidak hanya sedekah, melainkan amal lainnya yang disyariatkan dalam Islam. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 264:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Imam Bukhori menceritakan dalam kitab shahih-nya, bahwa sebagian salaf senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan:

إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً

“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.” Disebutkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya tanpa sanad (secara mu’allaq).

Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Fikih & Ushul Fikih

Silmi Adawiya
Penulis adalah alumnus Unhasy dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.

Sumber Web : https://tebuireng.online/anjuran-menyembunyikan-puasa-sunnah/ (8 September 2019)

kajian sunnah tarakan

Qoute Islam

Doa Islam