Bid'ahnya Wahabi itu Dua

Bid'ahnya Wahabi itu Dua - Qoutes Kajian Islam Tarakan

Bid'ahnya Wahabi itu dua:

1. Akidah Taymiyun seperti Mujassimah Karramiyah

2. Suka membuat syariat baru berupa pelarangan sesuatu yang sebenarnya tidak dilarang oleh syariat.

Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad

Qoutes · 15 April 2021 · 

Beberapa Sunnah Ketika Makan Sahur

Beberapa Sunnah Ketika Makan Sahur

Dalam melaksanakan ibadah puasa, disyariatkan untuk makan sahur. Berikut ini beberapa sunnah (tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait makan sahur.

Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah

Makan sahur tidaklah wajib dan bukan syarat sah puasa. Namun hendaknya orang yang berpuasa bersemangat untuk melakukannya karena para ulama mengatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً

“Bersahurlah karena dalam makanan sahur terdapat keberkahan” (HR. Bukhari no. 1922 dan Muslim no. 1095).

Ibnul Munzir rahimahullah mengatakan,

وأجمَعُوا على أنَّ السُّحورَ مندوبٌ إليه

“Ulama ijma’ (sepakat) bahwa sahur hukumnya dianjurkan” (Al-Ijma’, hal. 49).

Dianggap sudah melakukan aktivitas makan sahur jika makan atau minum di waktu sahur, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السُّحورُ كلُّه بركةٌ فلا تَدَعُوه ، و لَو أن يَجرَعَ أحدُكُم جَرعةً مِن ماءٍ ، فإنَّ اللهَ عزَّ وجلَّ وملائكتَه يُصلُّونَ على المتسحِّرينَ

“Makanan sahur semuanya berkah, maka jangan tinggalkan dia. Walaupun kalian hanya meneguk seteguk air. Karena Allah ‘azza wa jalla dan para malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang sahur” (HR. Ahmad no. 11101).

Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu subuh yang ditandai akhirnya dengan waktu imsak.

Dianjurkan untuk menunda sahur hingga mendekati waktu terbitnya fajar, selama tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur. Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bertanya kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu,

كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

“Berapa biasanya jarak sahur Rasulullah dengan azan (subuh)? Zaid menjawab: sekitar 50 ayat” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097).

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,

في قوله: قَدْرُ خَمسينَ آيةً؛ أي: متوسِّطةٌ، لا طويلةٌ ولا قصيرةٌ ولا سريعةٌ ولا بطيئةٌ

“Perkataan Zaid [sekitar 50 ayat] maksudnya dengan kecepatan bacaan yang pertengahan. Tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat” (Fathul Bari, 1: 367).

Dari sini kita ketahui kekeliruan sebagian yang bersengaja makan sahur larut malam sekitar pukul 1 atau pukul 2 malam ketika waktu subuh di daerahnya sekitar pukul 4 pagi.

Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَ سَحورُ المؤمِنِ التَّمرُ

“Sebaik-baik makanan sahur adalah tamr (kurma kering)” (HR. Abu Daud no. 2345,).

Salafus sholeh menyebutkan dalam syarah hadis ini, “Makanan terbaik bagi seorang mukmin ketika sahur adalah kurma, sebagai persiapan dirinya untuk berpuasa. Karena waktu sahur dan kurma, dua-duanya memiliki keberkahan yang membantu seorang yang berpuasa di siang hari”.

Gunakan waktu sahur untuk banyak beristighfar

Waktu sahur adalah salah satu waktu yang terbaik untuk meminta ampunan Allah. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya,

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون

“Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18).

Gunakan waktu sahur untuk banyak berdoa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فيَقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له

“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman, ‘Orang yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Orang yang meminta sesuatu kepada-Ku, akan Kuberikan. Orang yang meminta ampunan dari-Ku, akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758).

Gunakan waktu sahur untuk banyak membaca Al-Qur’an

Waktu malam secara umum adalah waktu yang baik untuk membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

“Sesungguhnya, bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (QS. Al Muzammil: 6).

Juga sebagaimana pada hadis Zaid bin Tsabit, mengisyaratkan bahwa para sahabat biasa memanfaatkan waktu setelah makan sahur untuk membaca Al-Qur’an.

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi hidayah dan taufikNya untuk kita semua.

Beberapa Sunnah Ketika Makan Sahur - Kajian Islam Tarakan

Sumber FB Ustadz : Alhabib Quraisy Baharun

29 April 2021 

Doa Agar Dimudahkan Dalam Segala Urusan

Doa Agar Dimudahkan Dalam Segala Urusan

Doa Agar Dimudahkan Dalam Segala Urusan

Petunjuk yang sempurna datangnya hanya dari Alloh, dalam segala urusan apapun.

Salah satu doa terbaik ada dalam Al Qur'an, surat Al Kahfi ayat 10. 

Doa ini dibaca oleh para pemuda yang dulu ditidurkan selama ratusan tahun di Gua Ashabul Kahfi. Mereka dalam keadaan terdesak dan benar-benar hanya meminta pertolongan Alloh, hanya meminta petunjuk Alloh.

إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا  ﴿١٠﴾

"(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, "Ya Rabb, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (Q.S Al Kahfi 18:10)

Hanya Alloh.. hanya Alloh tempat bersandar kita, untuk memohon petunjuk.

Bagus untuk dipahami dan dihafalkan, minta dengan sungguh-sungguh, Insya Alloh hati lebih lapang dan akan dipermudah segala urusan kita.

#islam #muslim #kajian #dakwah #tauhid #alquran #hijrahislam #temansurga #sunnah  #dakwahsunnah #dakwah #dakwahtauhid #dakwahislam #ceramah #tausiyah #yukhijrah #hijrah #hijrahcinta #pemudahijrah #hijrahku #beranihijrah #hijrahyuk #alquran

Sumber FB Ustdaz : KH. Abdullah Gymnastiar 

28 April 2021  · 

Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah Abad 21

Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah Abad 21

IMAM AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH ABAD 21, ABUYA ASSAYYID MUHAMMAD BIN ALWI ALMALIKI ALHASANI

(Dalam rangka Haul ke - 17, pada tgl 15 Ramadhan 1442 H)

Nama lengkap beliau adalah Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy`ari Assyadzili. 

Sehari-hari beliau dipanggil Abuya. 

Abuya lahir di Makkah Al Mukarramah, pada tahun 1362 H / 1943 M.

 Ayah beliau bernama Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, seorang ulama terkemuka di Makkah Al Mukarramah, dan seorang mudarris (pengajar) di Masjidil Haram.

Awal masa pendidikan yang ditempuh oleh Abuya adalah berbentuk halaqah-halaqah ilmiyah yang diasuh oleh sang ayah yang  bertempat di Masjid Alharam.

 Selain belajar kepada ayahnya sendiri, beliau juga belajar kepada beberapa para Ulama, di antara guru beliau adalah Syeikh Hasan Muhammad Almassyath, Asayyid Amin Kutbi, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Sa`id Yamani, dan ulama-ulama lainnya

Abuya juga belajar di Madrasah Alfalah, Madrasah Shaulatiyyah, dan Madrasah Tahfidz Alquran yang berada di kota Makkah. 

Beliau menimba ilmu Hadits kepada beberapa ulama di India dan Pakistan.

 Beliau memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan rantas transmisi (isnad) dari Alhabib Ahmad Almasyhur Alhaddad di Jiddah, Syeikh Hasanain Makhluf dari Mesir, Syeikh Ghumari dari Maroko, dll.

Pada fase selanjutnya, beliau menempuh studi akademis di Universitas Al Azhar, Mesir, dan berhasil meraih gelar Magister dan Doktoral dari Fakultas Ushuluddin.

 Beliau juga pergi ke Maroko untuk belajar kepada ulama-ulama di negeri ujung barat benua Afrika itu.

Pada tahun 1390 H / 1970 M, beliau diberi tugas mengajar di Fakultas Syari`ah di kota Makkah (1390-1399 H).

 Beliau juga termasuk salah seorang staf pengajar program pasca sarjana Universitas King Abdul Aziz, Makkah.

 Ketika sang ayah wafat pada tanggal 25 Safar 1391, Abuya ditunjuk menjadi pengajar di Masjidil Haram menggantikan sang ayah yangtelah mengajar di majelis tersebut selama 50 tahun lamanya. 

Selain halaqah di Masjidil Haram, banyak ceramah agama yang telah beliau sampaikan, baik di radio maupun televisi, juga yang terekam dalam bentuk kaset dan CD. 

Beliau selalu berperan aktif dalam Pekan Budaya (Almawasim Astsaqafiyyah) yang digelar oleh Rabithah Alam Islami.

 Sebagaimana beliau juga aktif dalam seminar-seminar agama yang diselenggarakan di dalam maupun luar Saudi Arabia.

 Dalam momen MTQ tingkat internasional, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Juri pada kisaran tahun 1399, 1400, dan 1401 H. 

Beliau merupakan orang pertama yang mengetuai dewan tahkim MTQ tingkat internasional tersebut.

Abuya juga telah mengunjungi banyak negara Islam.

 Tercatat, beliau berperan aktif membantu di berbagai pesantren dan madrasah di Asia Timur dan Asia Tenggara. 

Bentuk bantuannya, termasuk segi peletakan metodologi (manhaj), pemberian bantuan dana, penataran guru, perekrutan murid pesantren atau madrasah tersebut untuk dididik di Makkah dengan beasiswa penuh dari beliau rahmatullah alaihi.

Dalam dunia tulis menulis dan karya ilmiah, Abuya berhasil menulis puluhan kitab dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, antara lain Aqidah Islam, Ulumul Quran, Musthalah Hadits, Fiqh, dan Sirah Nabawiyyah. 

Hingga akhir hayat, beliau tetap istiqamah mengajar di majelis ta`lim yang dirintis di tempat kediamannya di Syari` Almaliki Distrik Rushaifah Makkah, yang dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai kalangan anak muda hingga orang tua,  selain santri beliau sendiri yang berdomisili di Rushaifah.

 Adapun para santri beliau baik yang berdomisili dikediaman beliau, maupun yang mukim di luar, mayoritas berasal dari luar negeri Saudi Arabiah, dan ada pula yang berasal dari masyarakat setempat.

 Banyak pula dari para muridnya itu, sekembalinya ke negara masing-masing, menjadi da`i, ustadz, dan ulama terkemuka.

Pada tanggal 2 Safar 1421 H / 6 Mei 2000, Universitas Alazhar Mesir, memberi Abuya gelar Profesor, berkat dedikasi beliau yang panjang dalam riset ilmiah dan karya tulis, yang memenuhi standar akademi. 

Selain itu, gelar honoris tersebut merupakan penghargaan atas jasa-jasa perjuangan beliau yang cukup lama, dalam dunia dakwah dan penyebaran ilmu syariat di banyak negara Islam.

Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da`i di kota Makkah.

 Demikian juga dengan Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul; Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), sebuah kitab yang banyak meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi.

 Paham Wahabi sangat menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia Tenggara, di kediaman di jalan Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah. 

Setiap harinya, mulai ba`da Maghrib hingga ba`da Isya, Abuya menyampaikan pelajarannya, serta menyambut para tamu dan thalibul ilmi di tempat itu yang jumlahnya tidak kurang dari 500 orang. 

Bahkan, majelis beliau selalu dihadiri oleh para ulama dan pejabat, baik dari Saudi Arabia sendiri maupun dari luar negeri, yang datang untuk melaksanakan ibadah haji atau ziarah.

 Praktis, majelis itu menjadi ajang ta`aruf dan shilaturrahim yang diformat oleh Sayyid Muhammad secara simpel, sederhana, dengan didukung oleh sifat beliau yang begitu simpatik.

 Beliau selalu menanyakan kabar para jama`ah, mencari yang tidak hadir di antara muridnya, atau para jamaah yang istiqamah datang ke majelis tersebut.

Abuya dikenal sebagai figur yang sangat tawadlu, bijaksana, dan tidak ghuluw (fanatik secara berlebihan).

 Beliau selalu bersedia dan selalu siap bila diajak berdiskusi hingga beddebat.

 Beliau bukan figur yang senang mencerca atau marah kepada orang yang berbeda pendapat dengannya. 

Namun sikap tegas dan wibawah sudah menjadi bagian dari karakter hidupnya.

 Maka tak heran, semasa hidupnya, beliau adalah otoritas yang paling dihormati oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jama`ah.

Di antara faktor yang menjadikan beliau mudah diterima oleh masyarakat adalah kelembutan bicara dan akhlaqnya, terutama kepada orang yang membutuhkan bantuan kepada beliau..

Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, banyak sikap kelompok yang menyerang pendapat ilmiah beliau.

 Namun dengan kebesaran hatinya, Abuya menerima semua itu dengan penuh kesabaran. 

Beliau menjawab semua serangan tersebut dengan cara yang baik, dan menjelaskan duduk permasalahan dengan dalil-dalil syar`i. 

Abuya selalu mempunyai keyakinan, bahwa sejak ribuan tahun, tidak pernah tercatat dalam sejarah, adanya ulama yang berbeda pendapat dengan ulama lain, lantas menyerang dengan menggunakan cara-cara yang tidak etis, yang tidak layak dilakukan oleh seorang alim.

 Sikap beliau ini, berhasil meluluhkan hati banyak orang, yang pada asalnya berbeda pendapat dan menyerang beliau. 

Pada akhirnya mereka makin mengetahui ketulusan hati dan tujuan beliau dalam dakwah dan menyebarkan ilmu yang bersumber dari Alquran dan Sunnah.

Setelah berjuang panjang dalam dunia dakwah dan keilmuan, pada Jumat pagi hari, tanggal 15 Ramadhan 1425 H, setelah terkena serangan penyakit yang mendadak, beliau berpulang ke rahmatullah. 

Meninggalkan beberapa putra (Assayyid Ahmad, Assayyid Abdullah, Assayyid Alwi, Assayyid Ali, Assayyid Hasan, Assayyid Husain) dan beberapa putri. 

Beliau dimakamkan di pemakaman Ma`la Makkah Almukarramah.

Pemakaman beliau dihadiri para pentakziah dalam jumlah yang sangat besar. 

Jenazahnya dishalati di Masjid Alharam setelah shalat Isya pada hari itu. 

Abuya meninggal dunia dengan meninggalkan banyak pusaka yang sulit untuk dilupakan ummat Islam. 

Ribuan murid yang menyebar di berbagai negara, serta ratusan karya tulis dalam bentuk buku, monograf, makalah, dalam berbagai topik keislaman. 

Belum lagi kumpulan ceramah beliau yang terekam dalam kaset dan CD, Kitab-kitab maupun rekaman ceramah beliau, tidak bertujuan mencari keuntungan materi.

 Hal ini makin membuat beliau dicintai dan dihormati ummat. 

Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani akan terus berada dalam sanubari terdalam ummat Islam, karena wacana keilmiahannya masih terus dapat dinikmati generasi demi generasi, dan tak akan lekang oleh pergantian zaman.

Sumber FB Ustadz : Luthfi Bashori

26 April 2021

Lima Kategori Bidah : Haram, Sunnah, Wajib, Makruh, dan Mubah

Lima Kategori Bid’ah: Haram, Sunnah, Wajib, Makruh, dan Mubah - Kajian Islam Tarakan
Lima Kategori Bid’ah : Haram, Sunnah, Wajib, Makruh, dan Mubah
      
Secara umum bid’ah adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dari Abdullah bin Masúd radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

Artinya: “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (baru) dan setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Kita tidak menolak bahwa bid’ah memang ada baik secara faktual maupun secara konsep sebagaimana pengertian yang disebutkan di atas. Bahkan sebagian bid’ah adalah dlalalah atau sesat kita mengakuinya. Hanya saja kita menolak pemahaman bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah karena memang tidak setiap bid’ah adalah dlalalah. Ada bid’ah yang bisa dibenarkan meski Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukannya.

Selain itu, frasa “setiap bid’ah” yang merupakan terjemahan dari كُلَّ بِدْعَةٍ sebagaimana termaktub dalam hadits di atas tidak bisa dipahami secara denotatif bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah sebab ungkapan dalam frasa itu menggunakan gaya bahasa yang disebut totum pro parte, yakni sebuah majas yang digunakan untuk mengungkapkan keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah sebagian saja.

Gaya bahasa seperti itu dalam ilmu balaghat disebut majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat sebagaimana yang kita temukan dalam كُلَّ سَفِيْنَةٍ dalam surat Al-Kahfi, ayat 79 sebagai berikut:
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Artinya: “Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku ingin membuat perahu itu cacat karena di belakang mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang tidak cacat).”

Frasa “setiap perahu” yang merupakan terjemahan dari كُلَّ سَفِيْنَةٍ dalam ayat di atas tidak bermakna seluruh perahu tanpa kecuali, tetapi seluruh perahu yang kondisinya baik saja sehingga dalam konteks ayat ini perahu yang dilubangi Nabi Khidzir milik orang-orang yang miskin tidak dirampas oleh raja karena kondisinya cacat.

Oleh karena tidak setiap bid’ah adalah dlalalah, maka secara fiqih bid’ah dapat dikategorikan menjadi 5 (lima), yakni: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Kategorisasi ini berdasarkan keterangan dari Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami, dalam kitab Al-Qawaídu Al-Kubra, Al-Mausum bi Qawaidil Ahkam fi Ishlahil Anam, Darul Qalam, Damaskus, Cetakan I, Tahun 2000, Juz II, Halaman 337, sebagai berikut:

الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ

Artinya, “Bid‘ah adalah melakukan apa yang tidak dijumpai di masa Rasulullah ﷺ. Hukum Bid‘ah terbagi menjadi: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.”

Berdasar pada kategorisasi bid’ah sebagaimana disebutkan dalam kitab tersebut, Mbah KH Abdullah Asy’ari, Pengasuh Pondok Pesantren Darus Sholihin Surakarta, dalam sebuah ceramah Ramadhan di Masjid Tegalsari Surakarta pada bulan Ramadhan 1439 H, memberikan contoh bid’ah yang hukumnya haram, yakni shalat Subuh 4 rakaat.

Shalat Subuh 4 rakaat jelas bid’ah dlalalah karena tidak ada dasar dan contohnya. Shalat Shubuh 2 rakaat bersifat qath’i karena begitulah Rasulullah ﷺ telah menetapkannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqiy, Ad-Daru Quthniy dan Ahmad sebagai berikut:

صَلاَةُ الصُّبْحِ رَكْعَتَانِ

Artinya: “Shalat Shubuh itu (hanya) dua rakaat.”

Adapun contoh bid’ah yang hukumnya sunnah, Mbah Kiai Abdullah Asyári memberikan contoh, yakni shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rakaat.

Memang ada hadits yang diriwayatkan dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat. Tetapi di zaman Khalifah Umar bin Khattab, shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rakaat. Hal ini memang bid’ah. Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan Sayyidina Umar tersebut merupakan bid’ah dlalalah?

Tentu saja tidak sebab Rasulullah ﷺ sendiri pernah berwasiat agar umatnya mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khulafaur Rasyidin sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang diriwayatakan Abu Dawud dan At-Tirmidzi sebagai berikut:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِالرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Artinya: “Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“

Jadi sunnah Khulafur Rasyidin itu ada dan legal karena dibenarkan oleh Rasulullah ﷺ sendiri. Oleh karena itu, shalat tarawih dengan 23 rakaat tidak termasuk bid’ah yang haram, tetapi sunnah sebab mengikuti sunnah Sayyidina Umar sebagai salah seorang dari Khulafaur Rasyidin.

Sedangkan bid’ah yang hukumnya wajib, Mbah Kiai Abdullah Asy’ari memberikan contoh, yakni membukukan ayat-ayat Al-Qur’an. Di zaman Rasulullah ﷺ ayat-ayat Al-Qur’an memang tidak dibukukan, tetapi ditulis di kulit binatang, batu yang tipis, pelepah kurma, tulang binatang dan sebagainya.

Perkembangan zaman menuntut agar ayat-ayat Al-Qur’an dibukukan menjadi satu mushaf karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an telah meninggal dunia dan kondisi tulisan ayat-ayat Al-Quran dalam benda-benda tersebut semakin buruk karena faktor usia. Maka dilakukanlah pembukuan ayat-ayat Al-Quran yang berlangsung mulai zaman kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khattab hingga Sayyidina Utsman bin Affan.

Andaikan ayat-ayat Al-Qur’an tidak pernah dibukukan menjadi mushaf, kita yang hidup di zaman sekarang tidak akan pernah menjumpainya. Umat Islam akan hidup tersesat karena tidak memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup. Memang harus diakui bahwa upaya membukukan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan Khulafaur Rasyidin adalah sesuatu yang baru alias bid’ah, tetapi tidak dlalalah – tidak haram - karena hukumnya malah wajib.

Mengenai bid’ah yang hukumnya makruh Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami dalam kitab tersebut, halaman 338, memberikan contoh yakni menghiasai masjid. Tentu yang dimaksud dengan hiasan di sini adalah ornamen-ornamen yang tidak mengandung unsur dakwah.

Sedangkan contoh bid’ah yang termasuk kategori mubah, Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami pada halaman 339 memberikan contoh yakni jabat tangan usai shalat Subuh dan Ashar. Sedangkan Mbah Kiai Abdullah Asyári memberikan contoh bid’ah mubah adalah pergi haji dengan menggunakan pesawat terbang.

Kelima kategori bid’ah sebagaimana dirumuskan oleh Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami tersebut sangat penting dipahami dan dijadikan pegangan bagi kaum Muslimin secara umum dalam kehidupan beribadah mereka sehari-hari. Dengan cara ini mereka tidak akan terombang-ambing oleh pendapat-pendapat dari luar kalangan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah yang cenderung waton sulaya (asal berbeda).

Muhamad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/95503/lima-kategori-bidah-haram-sunnah-wajib-makruh-dan-mubah (Senin 10 September 2018 22:15 WIB)

Hukum Shalat Sunnah, Tapi Punya Utang Shalat Wajib

Hukum Shalat Sunnah, Tapi Punya Utang Shalat Wajib - Kajian Islam Tarakan
Hukum Shalat Sunnah, Tapi Punya Utang Shalat Wajib

Mengqadha’ shalat adalah salah satu kewajiban bagi seseorang yang meninggalkan shalat fardhu pada waktu yang telah ditentukan. Sebuah hadits menjelaskan sebagai berikut:

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Artinya, “Barang siapa lupa shalat atau tertidur hingga meninggalkan shalat, maka tebusannya adalah melaksanakan shalat tersebut ketika ia ingat,” (HR Muslim).

Shalat yang ditinggalkan oleh seseorang ada kalanya dikarenakan terdapat uzur atau tanpa uzur. Meninggalkan shalat karena uzur misalnya dikarenakan ia lupa terhadap shalat atau tidur sebelum waktu masuknya shalat dan bangun ketika waktu shalat telah habis, maka dalam keadaan demikian ia harus mengqadha’ shalatnya namun tidak wajib melaksanakan qadha’ tersebut sesegera mungkin setelah uzurnya hilang.

Sedangkan orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur misalnya seperti orang yang malas melakukan shalat, tidur setelah masuknya waktu shalat, terlalu sibuk bekerja hingga tidak sempat melaksanakan shalat, dan juga kasus-kasus yang lain sekiranya ia masih ingat atau sadar ketika masuknya waktu shalat, maka mengqadha’ shalat dalam hal ini wajib untuk dilakukan sesegera mungkin setelah habisnya waktu shalat.

Termasuk shalat yang wajib diqadha’i sesegera mungkin adalah shalat-shalat yang ia tinggalkan di masa lalu semenjak ia baligh karena malas, belum dapat hidayah dan faktor-faktor lain yang bukan termasuk dalam kategori uzur, meskipun shalat yang dulu ia tinggalkan tak terhitung jumlahnya karena begitu banyak, maka ia berkewajiban mengqadha’ shalat sebanyak mungkin sekiranya ia yakin bahwa shalat qadha’ yang telah ia laksanakan telah melampaui shalat-shalat yang dulu ia tinggalkan.

Dalam melaksanakan shalat yang ditinggalkan tanpa adanya uzur terdapat ketentuan khusus yaitu wajib menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadla’i shalat yang ia tinggalkan kecuali untuk kepentingan yang bersifat pokok baginya seperti makan, minum, tidur, kencing dan lain-lain.

Sebab melaksanakan shalat yang ia tinggalkan wajib sesegera mungkin, sehingga ketika ia melaksanakan hal lain yang tidak bersifat pokok bagi dirinya maka berarti ia dianggap sebagai menunda melaksanakan qadha’ shalatnya dan hal ini adalah sesuatu yang diharamkan.

Termasuk dari hal yang diharamkan baginya adalah melakukan shalat sunnah, sebab hukum mengqadha’i shalat dengan sesegera mungkin baginya adalah wajib, sedangkan melaksanakan shalat sunnah, seperti qabliyyah, ba’diyyah, dhuha dan shalat sunnah yang lain adalah sunnah.

Ketika ia melaksanakan shalat sunnah, berarti ia lebih mementingkan kesunnahan daripada kewajiban dan hal ini jelas tidak diperbolehkan. Bahkan menurut Imam Zarkasyi, shalat sunnah yang ia lakukan dihukumi tidak sah. Penjelasan di atas seperti yang terdapat dalam Kitab Fathul Mu’in:

قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه، وأنه يحرم عليه التطوع (قوله: وأنه يحرم عليه التطوع) أي مع صحته، خلافا للزركشي

Artinya, “Guruku, Ahmad bin Hajar berkata, ‘hal yang jelas bahwasannya wajib (bagi orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur) untuk mengalokasikan seluruh waktunya untuk melakukan qadha’ selain waktu yang ia butuhkan berupa sesuatu yang tidak dapat ia tinggalkan, dan sesungguhnya haram baginya melakukan shalat Sunnah, meski shalatnya tetap sah, namun imam az-Zarkasyi berpandangan berbeda (tidak sah shalatnya),’” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Muin, juz I, halaman 31).

Berbeda halnya melaksanakan shalat sunnah bagi orang yang meninggalkan shalat karena uzur, maka hal ini tetap diperbolehkan baginya, sebab ia tidak wajib mengqadha’i shalat yang ia tinggalkan sesegera mungkin, namun hal tersebut hanya sebatas sunnah baginya.

Demikian penjelasan materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat sunnah bagi orang yang meninggalkan shalat tanpa adanya uzur adalah hal yang diharamkan bahkan akan berakibat tidak sahnya shalat menurut Imam Az-Zarkasyi.

Adapun orang yang meninggalkan shalat karena uzur, boleh baginya melaksanakan shalat sunnah tanpa ada larangan dari syara’. Oleh sebab itu jika di masa lalu kita pernah meninggalkan shalat dan belum kita qadha’i, alangkah baiknya kita mengqadha’ shalat tersebut sesegera mungkin, karena akan berakibat pada haramnya melaksanakan ibadah-ibadah lain. Wallahu a’lam. (Ali Zainal Abidin)

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/99268/hukum-shalat-sunnah-tapi-punya-utang-shalat-wajib (Kamis 22 November 2018 04:00 WIB)

Ini Lafal Niat Shalat Sunnah Qabliyyah Jumat

Ini Lafal Niat Shalat Sunnah Qabliyyah Jumat - Kajian Islam Tarakan
Ini Lafal Niat Shalat Sunnah Qabliyyah Jumat

Shalat zuhur pada hari Jumat diganti dengan rangkaian ibadah shalat Jumat. Meski demikian, anjuran shalat sunnah rawatib pada hari Jumat tetap berlaku meski yang dilakukan umat Islam adalah shalat Jumat, bukan shalat zuhur.

Mazhab Syafi‘i menyebut adanya kesunnahan shalat sunnah qabliyyah Jumat sebagai pengganti posisi shalat sunnah qabliyyah zuhur. Sebagaimana diketahui, shalat sunnah qabliyyah adalah shalat sunnah yang dilakukan sebelum shalat wajib lima waktu dilakukan.

Shalat sunnah qabliyyah Jumat dilakukan setelah masuk waktu Jumat. Tetapi ketika khatib sudah mulai berkhutbah, shalat sunnah qabliyyah Jumat sebaiknya dilakukan secara ringkas.

قَوْلُهُ (نَفْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ) أَيْ سُنَّتُهَا الْقَبْلِيَّةُ وَأَمَّا الْبَعْدِيَّةُ فَفِعْلُهَا فِي الْبَيْتِ أَفْضَلُ

Artinya, “Redaksi (shalat nafilah hari Jumat), maksudnya shalat sunnah qabliyyah Jumat. Sedangkan shalat sunnah ba‘diyyah Jumat dikerjakan lebih utama di rumah,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, juz II, halaman 458).

Adapun berikut ini adalah lafal niat shalat sunnah qabliyyah Jumat:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَّةً لِلهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatal Jumu‘ati rak‘ataini qabliyyatan lillāhi ta‘ālā.

Artinya, “Aku menyengaja sembahyang sunnah qabliyyah Jumat dua rakaat karena Allah SWT,” (Lihat Perukunan Melayu, ikhtisar dari karya Syekh M Arsyad Banjar, [Jakarta, Al-Aidarus: tanpa tahun], halaman 13).

Shalat sunnah qabliyyah pada hari Jumat ini tetap dianjurkan. Kekhususan ibadah di hari Jumat tidak menghalangi kesunnahan shalat sunnah rawatib yang lazim mengiringi shalat wajib lima waktu baik sebelum dan sesudahnya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/99564/ini-lafal-niat-shalat-sunnah-qabliyyah-jumat (Selasa 27 November 2018 23:00 WIB)

Ini Lafal Niat Shalat Sunnah Ba‘diyyah Jumat

Ini Lafal Niat Shalat Sunnah Ba‘diyyah Jumat - Kajian Islam Tarakan
Ini Lafal Niat Shalat Sunnah Ba‘diyyah Jumat

Shalat sunnah ba‘diyyah adalah shalat sunnah rawatib yang dilakukan setelah shalat wajib. Khusus untuk shalat Subuh dan Ashar, tiada kesunnahan shalat ba‘diyyah. Bahkan shalat ba‘diyyah Subuh dan Ashar terbilang makruh yang mendekati haram.

Adapun kesunnahan shalat ba‘diyyah Jumat tetap berlaku sebagaimana shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat Zuhur.

قَوْلُهُ (نَفْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ) أَيْ سُنَّتُهَا الْقَبْلِيَّةُ وَأَمَّا الْبَعْدِيَّةُ فَفِعْلُهَا فِي الْبَيْتِ أَفْضَلُ

Artinya, “Redaksi (shalat nafilah hari Jumat), maksudnya shalat sunnah qabliyyah Jumat. Sedangkan shalat sunnah ba‘diyyah Jumat dikerjakan lebih utama di rumah,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, juz II, halaman 458).

Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dari Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa shalat ba‘diyyah Jumat dianjurkan dikerjakan di rumah. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa jarak masjid dan rumah cukup dekat. Menurut hemat kami, kalau masjid tempat ibadah Jumat itu jauh dari rumah, shalat ba‘diyyah Jumat sebaiknya dilakukan di masjid.

Berikut ini adalah lafal niat shalat sunnah ba‘diyyah Jumat:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَّةً لِلهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatal Jumu‘ati rak‘ataini ba‘diyyatan lillāhi ta‘ālā.

Artinya, “Aku menyengaja sembahyang sunnah ba‘diyyah Jumat dua rakaat karena Allah SWT,” (Lihat Perukunan Melayu, ikhtisar dari karya Syekh M Arsyad Banjar, [Jakarta, Al-Aidarus: tanpa tahun], halaman 13).

Hari Jumat tidak menghilangkan kesunnahan shalat sunnah ba‘diyyah setelah shalat Jumat. Shalat ba‘diyyah Jumat tetap disunnahkan sebagai kesunnahan shalat sunnah rawatib setelah Zuhur. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/99565/ini-lafal-niat-shalat-sunnah-badiyyah-jumat (Jumat 30 November 2018 05:00 WIB)

Saat Itidal, Sunnah Bersedekap atau Tidak?

Saat I’tidal, Sunnah Bersedekap atau Tidak? - Kajian Islam
Saat I’tidal, Sunnah Bersedekap atau Tidak?

SHALAT

Rukun shalat yang ketujuh adalah i’tidal, yaitu posisi berdiri tegak lurus setelah melaksanakan ruku’. Tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang mengisahkan tentang bagaimana Rasulullah ﷺ meletakkan tangan pada saat i'tidal: apakah bersedekap atau melepaskannya?

Terdapat beberapa hadits tentang kisah Rasul menaruh tangan di bawah dada, namun masing-masing konteksnya adalah saat Rasullullah ﷺ sedang berdiri (sebelum ruku’). Di antara hadits yang menceritakan hal tersebut adalah pada waktu Wâil bin Hujr berkisah sebagaimana berikut ini:

أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، - وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا، سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ

Artinya: “Wâil bin Hujr melihat Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya saat memasuki shalat sembari takbîratul ihrâm. Hammâm memberikan ciri-ciri, posisi tangan Rasulullah (saat mengangkat kedua tangannya) adalah sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian Rasulullah ﷺ memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Saat Rasulullah akan ruku’, ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian lalu mengangkatnya, bertakbir sembari ruku’. Pada waktu ia mengucapkan sami‘llâhu liman hamidah, Rasul mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, ia sujud dengan kedua telapak tangannya.” (HR Muslim: 401)

Hadits di atas tidak menunjukkan posisi tangan Rasulullah saat i'tidal, namun mengisahkan letak tangan pada waktu berdiri saja. Oleh karena itu kita perlu melihat bagaimana para ulama menggali lebih lanjut.

Imam Ramli dalam karyanya Nihâyatul Muhtâj menjelaskan, yang disunnahkan dalam i'tidal adalah melepaskan tangan, tidak bersedekap atau menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada, sehingga orang yang bangun dari ruku’ setelah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, ia kemudian melepaskan kedua tangannya. Teks lengkapnya sebagai berikut:

وَقَوْلُهُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ تَحْتَ صَدْرِهِ: أَيْ فِي جَمْعِ الْقِيَامِ إلَى الرُّكُوعِ خَرَجَ بِهِ زَمَنُ الِاعْتِدَالِ فَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ بَلْ يُرْسِلُهُمَا سَوَاءٌ كَانَ فِي ذِكْرِ الِاعْتِدَالِ أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الْقُنُوتِ

Artinya: “Menaruh kedua tangan di bawah dada, maksudnya kegiatan tersebut dilaksanakan pada semua posisi berdirinya orang shalat sampai ia akan ruku’. (Jika akan ruku’ maka dilepas). Teks tersebut tidak berlaku pada saat berdiri i'tidal. Pada waktu i'tidal, janganlah menaruh kedua tangannya di bawah dadanya, namun lepaskan keduanya. Baik saat membaca dzikirnya i'tidal, atau bahkan setelah selesai qunut.” (Syihabuddin ar-Ramli, Nihâyatul Muhtâj ilâ Syarhil Minhâj, [Dârul Fikr, Beirut, 1984), juz 1, halaman 549)

Senada dengan pendapat di atas, Syekh Al-Bakri yang terekam dalam kitab I‘ânatut Thâlibîn juga mengatakan hal yang sama. Hal ini bisa disimak dalam tulisannya berikut:

وَالْأَكْمَلُ أَنْ يَكُوْنَ ابْتِدَاءُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ، وَيَسْتَمِرُّ إِلَى انْتِهَائِهِ ثُمَّ يُرْسِلُهُمَا.

Artinya: “Yang paling sempurna adalah saat mengangkat kedua tangan itu dimulai berbarengan dengan mengangkat kepala. Hal tersebut berjalan terus diangkat sampai orang selesai berdiri pada posisi sempurna. Setelah itu kemudian kedua tangan dilepaskan.” (Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I‘ânatut Thâlibin, [Dârul Fikr, 1997], juz 1, halaman 158)

Dengan demikian Syekh Al-Bakri mengajurkan agar melepaskan tangan setelah takbir, bukan menaruh di bawah dada. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat i’tidal yang disunnahkan adalah melepaskan kedua tangan. Adapun apabila yang bersedekap tidak sampai membatalkan shalat. Wallâhu a’lam. (Ahmad Mundzir)

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/99930/saat-itidal-sunnah-bersedekap-atau-tidak (Kamis 6 Desember 2018 10:00 WIB)

Mendengar Iqamah saat Masih Melaksanakan Shalat Sunnah

Mendengar Iqamah saat Masih Melaksanakan Shalat Sunnah - Kajian Islam
Mendengar Iqamah saat Masih Melaksanakan Shalat Sunnah

Iqamah merupakan penanda dekatnya pelaksanaan shalat yang dilaksanakan setelah mengumandangkan azan. Meski iqamah ini tidak hanya disunnahkan pada shalat jamaah saja (tapi juga dianjurkan dalam shalat sendirian), namun realitasnya masyarakat lebih menjadikan iqamah sebagai ikon dari shalat jamaah, terlebih shalat jamaah yang dilaksanakan di masjid dan mushalla.

Permasalahan terjadi ketika salah satu jamaah masjid atau mushalla sedang melaksanakan shalat sunnah rawatib atau tahiyyatul masjid, namun di pertengahan shalat sunnahnya, tiba-tiba iqamah berkumandang, dalam keadaan demikian apakah yang harus dilakukan oleh jamaah ini?

Dalam menjawab persoalan diatas, patut dipahami terlebih dahulu bahwa dikumandangkannya seruan iqamah, merupakan penanda larangan melaksanakan shalat lain selain shalat fardhu, hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits:

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ

Artinya, “Ketika iqamah sudah berkumandang, maka tidak ada shalat lain (yang dilakukan) kecuali shalat fardhu,” (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits di atas para ulama’ memberikan vonis hukum makruh bagi orang yang tetap melaksanakan shalat sunnah ketika iqamah sudah dikumandangkan, atau ketika waktu pelaksanaan iqamah hampir dilaksanakan.

Namun ketika iqamah berkumandang ketika ia sedang melaksanakan shalat sunnah, para ulama’ memberikan berbagai perincian hukum dalam menyikapi masalah demikian.

Ketika ia yakin bahwa dengan menyempurnakan shalat sunnah ia tidak akan tertinggal dari shalat jamaah, maka ia dianjurkan untuk terus menyelesaikan shalat sunnah sampai selesai dengan sedikit mempercepat agar bisa segera merapat pada shalat jamaah.

Sedangkan ketika ia khawatir akan tertinggal dari shalat jamaah ketika merampungkan shalat sunnahnya, dikarenakan bacaan imam yang terlalu cepat misalnya, maka ia dianjurkan untuk memutus shalatnya seketika itu juga, agar bisa melaksanakan shalat jamaah.

Memutus shalat dalam keadaan demikian hanya dianjurkan ketika sudah tidak bisa diharapkan lagi adanya pelaksanaan shalat jamaah yang lain. Namun ketika masih diharapkan adanya pelaksanaan jamaah yang lain, maka ia dianjurkan untuk terus menyelesaikan shalat sunnahnya sampai selesai, meskipun tertinggal jamaah yang baru saja diiqamahi, setelah itu ia melaksanakan shalat jamaah pada gelombang selanjutnya.

Perincian ini dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’in:

وكره ابتداء نفل بعد شروع المقيم في الإقامة ولو بغير إذن الإمام فإن كان فيه أتمه إن لم يخش بإتمامه فوت جماعة وإلا قطعه ندبا ودخل فيها ما لم يرج جماعة أخرى

Artinya, “Dimakruhkan melaksanakan shalat Sunnah setelah seseorang telah mengumandangkan iqamah, meskipun tanpa seizin imam. Jika saat iqamah dikumandangkan seseorang terlanjur sedang melaksanakan shalat Sunnah maka ia (disunnahkan) untuk tetap menyempurnakan shalatnya ketika memang tidak dikhawatirkan kehilangan (tidak terkejar) shalat jamaah. Jika ia khawatir kehilangan shalat jamaah maka ia disunnahkan untuk memutus sholat sunnahnya dan langsung melaksanakan shalat jamaah jika memang tidak bisa diharapkan lagi adanya pelaksanaan shalat jamaah yang lain” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, juz II, halaman 15).

Umumnya yang terjadi di masyarakat, ketika iqamah sudah dikumandangkan, sedangkan ia masih melaksanakan shalat sunnah, menyelesaikan shalat sunnah ini tidak sampai menyebabkan tertinggal dari shalat jamaah, mengingat umumnya shalat sunnah adalah dua rakaat. Dengan begitu ia dianjurkan untuk merampungkan shalat sunnahnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hal yang harus dilakukan oleh orang yang sedang melaksanakan shalat sunnah saat iqamah pertanda pelaksanaan shalat jamaah sudah dikumandangkan adalah menyelesaikan shalat sunnah sampai dengan salam.

Seseorang tetap boleh untuk memutus shalat sunnah, mengingat hukum memutus shalat sunnah adalah diperbolehkan terlebih ketika ia menduga kuat akan tertinggal dan tidak mendapati shalat jamaah. Dalam keadaan ini, memutus shalat sunnah adalah hal yang dianjurkan. Wallahu a’lam. (Ustadz Ali Zainal Abidin)

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/100259/mendengar-iqamah-saat-masih-melaksanakan-shalat-sunnah (Jumat 14 Desember 2018 10:00 WIB)

Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar

Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar

26. Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar

MARHABAN YA RAMADHAN

6 Ramadhan 1442 H - 18 April 2021

Oleh: Isnan Ansory

A. Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Merusak Pahala Puasa

Para ulama sepakat bahwa dosa yang dilakukan pada saat berpuasa tidak menyebabkan puasa seseorang batal, selama dosa yang dimaksud bukan termasuk pembatal puasa. Hanya saja, dalam beberapa keterangannya, Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - mengajarkan untuk meninggalkan dosa-dosa tersebut secara khusus, karena dapat berakibat pada rusaknya nilai pahala ibadah puasa yang dilakukan.

Di antara dosa-dosa yang Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - peringatkan secara khusus untuk ditinggalkan selama berpuasa Ramadhan sebagaimana berikut:

1. Menjaga Lisan & Anggota Tubuh

Pada dasarnya manusia akan mempertanggungjawabkan setiap apa yang dilontarkan oleh lisannya dan apa yang diperbuat oleh anggota tubuhnya. Dan oleh sebab itu, menjaga lidah dan anggota tubuh dari perbuatan haram pada hakikatnya haruslah dilakukan kapanpun.

Namun para ulama sepakat bahwa melakukan hal di atas lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadhan. Di mana terdapat hadits yang secara khusus memerintahkan untuk menjaga lidah dari perkataan kotor dan keji serta perkataan yang membawa kepada kefasikan dan kejahatan seperti ghibah (bergunjing), namimah (mengadu domba), dusta dan kebohongan. Meskipun para ulama sepekat bahwa perbuatan tersebut tidak sampai membatalkan puasanya, namun pahalanya dapat hilang di sisi Allah - ta’ala -. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ» (رواه البخاري) 

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya". (HR Bukhari)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ. (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Shaum itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat keji (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali).  (HR. Bukhari Muslim)

Terkait adab dalam menjawab celaan orang lain ketika berpuasa, para ulama sepakat disunnahkan untuk menjawabnya sebagaimana keterangan hadits di atas. Yaitu dengan mengatakan “aku sedang berpuasa”. 

Namun para ulama sepakat bahwa anjuran ini hanya terkait dengan puasa Ramadhan yang hukumya wajib. Tetapi jika puasa sunnah, maka tidak perlu mengatakannya agar tidak menjadi sebab timbulnya riya‘. Karena itu cukup dia menahan diri dan mengatakannya dalam hati. 

2. Menekan Nafsu & Syahwat

Ada nafsu dan syahwat tertentu yang tidak sampai membatalkan puasa jika dilakukan, seperti menikmati wewangian atau melihat sesuatu yang menyenangkan dan halal. Namun meski hal-hal tersebut pada dasarnya tidak membatalkan ibadah puasa, namun disunnahkan untuk meninggalkannya. 

Contoh lain seperti bercumbu antara suami istri. Selama tidak sampai mengeluarkan mani atau tidak sampai melakukan hubungan seksual, sesungguhnya tidak membatalkan puasa. Tetapi sebaiknya hal itu ditinggalkan untuk mendapatkan keutamaan ibadah puasa sebagai ibadah yang berfungsi untuk menekan nafsu dan syahwat manusia.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ ... «يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا» (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Puasa adalah tameng … “(Allah berfirman) Hambaku berpuasa dengan menahan makan, minum, dan syahwatnya demi-Ku. Puasanya adalah milik-Ku dan aku akan memberinya ganjaran, dimana satu kebaikan dilipat gandakan hingga sepuluh lipat.” (HR. Bukhari Muslim)

B. Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar

Umumnya para ulama sepakat bahwa disunnahkan pula untuk mandi, baik dari janabah, haid atau nifas sebelum masuk waktu fajar. Agar saat berpuasa, berada dalam kondisi suci. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(1) 

يُسْتَحَبُّ تَقْدِيمُ غُسْلِ الْجَنَابَةِ مِنْ جِمَاعٍ أَوْ احْتِلَامٍ عَلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ.

Dianjurkan mendahulukan mandi janabah karena sebab jima’ atau ihtilah, sebelum terbit fajar.

Selain itu anjuran ini juga demi terlepas dari perbedaan pendapat ulama lainnya yang menilai tidak sahnya puasa dalam kondisi berhadats besar saat memulai ibadah puasanya. 

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، أَنَّ أَبَاهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَ مَرْوَانَ، أَنَّ عَائِشَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ أَخْبَرَتَاهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ «يُدْرِكُهُ الفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ، وَيَصُومُ»، وَقَالَ مَرْوَانُ، لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ، أُقْسِمُ بِاللَّهِ لَتُقَرِّعَنَّ بِهَا أَبَا هُرَيْرَةَ. وَمَرْوَانُ، يَوْمَئِذٍ عَلَى المَدِينَةِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: فَكَرِهَ ذَلِكَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، ثُمَّ قُدِّرَ لَنَا أَنْ نَجْتَمِعَ بِذِي الحُلَيْفَةِ، وَكَانَتْ لِأَبِي هُرَيْرَةَ هُنَالِكَ أَرْضٌ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: لِأَبِي هُرَيْرَةَ إِنِّي ذَاكِرٌ لَكَ أَمْرًا وَلَوْلاَ مَرْوَانُ أَقْسَمَ عَلَيَّ فِيهِ لَمْ أَذْكُرْهُ لَكَ، فَذَكَرَ قَوْلَ عَائِشَةَ، وَأُمِّ سَلَمَةَ: فَقَالَ: كَذَلِكَ حَدَّثَنِي الفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ وَهُنَّ أَعْلَمُ وَقَالَ هَمَّامٌ، وَابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَأْمُرُ بِالفِطْرِ – من أصبح جنبا - «وَالأَوَّلُ أَسْنَدُ» (رواه البخاري)

Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, bahwa bapaknya (Abdurrahman) mengabarkan kepada Marwan bahwa Aisyah dan Ummu Salamah - radhiyallahu ‘anhuma - telah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - pernah mendapatkan waktu Fajar saat Beliau sedang junub di rumah keluarga Beliau. Maka kemudian Beliau mandi dan berpuasa. Dan berkata Marwan kepada Abdurrahman: Aku bersumpah dengan nama Allah. aku pasti menyampaikan hal ini kepada Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -. Saat itu Marwan adalah pemimpin di Madinah. Maka Abu Bakar berkata: Kejadian itu membawa Abdurrahman merasa tidak senang. Kemudian kami ditakdirkan berkumpul di Dzul-Hulaifah yang ketika itu Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - termasuk yang hadir di sana. Maka Abdurrahman berkata kepada Abu Hurairah: Aku akan menyampaikan satu hal kepadamu yang seandainya Marwan tidak bersumpah tentangnya kepadaku maka aku tidak akan menyampaikannya kepadamu. Maka dia menyebutkan apa yang disampaikan Aisyah dan Ummu Salamah di atas. Mendengar itu, Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - berkata: Persoalan tadi pernah pula diceritakan kepadaku oleh al-Fadhal bin Abbas, sedangkan mereka (Aisyah dan Ummu Salamah) lebih mengetahui perkara ini. Dan berkata Hammam dan Ibnu Abdullah bin Umar dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Adalah Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - memerintahkan untuk berbuka/ membatalkan puasa (dalam kasus junub setelah masuk waktu Fajar). Namun hadits pertama (hadits Aisyah dan Ummu Salamah) di atas lebih kuat sanadnya. (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila seseorang dalam kondisi junub di malam hari dan belum sempat mandi, padahal waktu subuh sudah masuk, maka puasanya tetap sah. 

Sedangkan terkait hadits Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - di atas, ditafsirkan oleh mayoritas ulama, bahwa yang dimaksud dengan junub yang membatalkan puasa adalah seseorang yang meneruskan jima'-nya setelah masuk waktu shubuh.

-------------------

(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/377.

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

18 April 2021

Kapan Makmum Masbuq Disunnahkan Mengangkat Kedua Tangan?

Kapan Makmum Masbuq Disunnahkan Mengangkat Kedua Tangan? - Kajian Islam
Kapan Makmum Masbuq Disunnahkan Mengangkat Kedua Tangan?

SHALAT

Kesunnahan dalam shalat secara umum terbagi menjadi dua, yaitu sunnah ab’ad dan sunnah hai’at. Sunnah ab’ad adalah kesunnahan yang jika tidak dilakukan maka disunnahkan menggantinya dengan sujud sahwi. Sedangkan sunnah hai’at sebaliknya, kesunnahan yang jika tidak dilakukan maka tidak disunnahkan sujud sahwi. Salah satu bagian dari sunnah ab’ad adalah kesunnahan mengangkat tangan pada saat takbir dalam rukun-rukun tertentu.

Mengangkat tangan disunnahkan dalam beberapa tempat, yaitu ketika takbiratul ihram, ruku’, i’tidal dan ketika bangkit dari rakaat kedua atau ketika setelah selesai tasyahud awal. Kesunnahan mengangkat tangan ini salah satunya dijelaskan dalam hadits:

كان إذا دخل في الصلاة كبّر ورفع يديه وإذا ركع رفع يديه، وإذا قال: سمع الله لمن حمده رفع يديه، وإذا قام من الركعتين رفع يديه

“Rasulullah ketika melaksanakan shalat, bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Dan ketika hendak ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya. Dan ketika mengucapkan ‘Sami‘allâhu li man hamidahu’ mengangkat kedua tangannya. Dan ketika bangkit dari dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangannya.” (HR. Bukhari)

Sedangkan cara melaksanakan kesunnahan mengangkat tangan yang paling sempurna adalah dengan cara menyejajarkan ujung jari-jari dengan bagian telinga yang paling atas, kedua jempol sejajar dengan janur telinga dan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua pundak, seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu ala al-Madzahib al-Arba’ah:

الشافعية قالوا: الأكمل في السنة هو رفع اليدين عند تكبيرة الإحرام والركوع والرفع منه وعند القيام من التشهد الأول حتى تحاذي أطراف أصابعه أعلى أذنيه وتحاذي إبهاماه شحمتي أذنيه, وتحاذي راحتاه منكبيه للرجل والمرأة, أمّا أصل السنة فتحصل ببعض ذلك.

“Mazhab Syafi’iyah berpandangan bahwa kesunnahan yang paling sempurna adalah dengan cara mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ruku’, bangkit dari ruku’ (i’tidal), dan ketika berdiri dari tasyahud pertama. Mengangkat tangan ini sekiranya ujung jari-jari tangan sejajar dengan bagian telinga yang paling atas, kedua jempol sejajar dengan janur telinga dan kedua telapak tangan sejajar dengan dua pundak. Baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Adapun asal kesunnahan maka sudah cukup dengan melaksanakan sebagian dari ketentuan tersebut. (Syekh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, hal. 224)

Namun kesunnahan mengangkat tangan setelah tasyahud awal dalam permasalahan di atas, hanya berlaku bagi orang yang memang berada pada rakaat kedua baik ketika shalat sendirian atau dalam keadaan bermakmum pada imam sejak rakaat pertama. Lalu bagaimana dengan makmum masbuq (telat)?

Dalam hal ini, makmum masbuq yang mendapati imam tidak pada rakaat pertama tidak disunnahkan mengangkat kedua tangannya, meskipun tetap disunnahkan baginya melafalkan takbir intiqal (takbir perpindahan rukun) sebab hitungan rakaat kedua hanya berlaku bagi imam, tidak bagi dirinya. Hal ini ditegaskan dalam kitab Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khatib:

ـ (وعند القيام إلى الثالثة من التشهد الأول) لعلّ المراد التشهد الأول بالنسبة للمصلّي. فلا يرفع إذا أدرك الإمام في الثانية

“Dan (disunnahkan mengangkat tangan) ketika berdiri menuju rakaat ketiga dari tasyahud awal. Mungkin hal yang dikehendaki (pengarang kitab) adalah tasyahud awal ketika dinisbatkan pada orang yang shalat. Maka tidak disunnahkan mengangkat tangan bagi orang yang shalat ketika bermakmum pada imam pada rakaat kedua.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khatib, Juz 2, hal. 211)

Maka dengan demikian, makmum masbuq hanya disunnahkan mengangkat tangan pada saat takbiratul ihram, ruku’, i’tidal dan ketika bangkit dari tasyahud awal yang dinisbatkan pada dirinya sendiri bukan tasyahud awal yang dinisbatan pada imam, seperti ia mendapati imam pada shalat maghrib di rakaat kedua, maka setelah rakaat ketiga imam, ia disunnahkan takbir intiqal sekaligus mengangkat kedua tangannya, sebab dalam hal ini, tasyahud akhir dari imam merupakan tasyahud awal bagi makmum masbuq tersebut. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/100819/kapan-makmum-masbuq-disunnahkan-mengangkat-kedua-tangan (Rabu 26 Desember 2018 18:00 WIB)

Keramat Para Wali dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah

Keramat Para Wali dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah - Kajian Islam
Keramat Para Wali dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah

ILMU TAUHID

Masalah keramat para wali hampir selalu memicu diskusi yang berkepanjangan. Sebagian kecil orang memahami kepercayaan atas keramat para wali sebagai kemusyrikan. Sementara sebagian orang lainnya mempercayai keramat para wali sebagai bentuk kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka.

Kelompok Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) seperti yang dianut oleh warga NU termasuk ke dalam kelompok kedua, yaitu mereka yang mempercayai keramat para wali. Kelompok Aswaja meyakini bahwa berkat keramat para wali sesuatu yang diharapkan atau dikehendaki dapat terjadi tanpa mencederai tauhid karena semuanya dipercaya terjadi karena Allah.

Bagi kalangan Aswaja, kepercayaan seperti ini tidak dapat dikategorikan sebagai kemusyrikan seperti yang dituduhkan oleh kelompok pertama. Pasalnya, mereka tetap meyakini bahwa sesuatu terjadi karena Allah semata, bukan karena keramat para wali sebagaimana penjelesan Syekh Ihsan Jampes Kediri berikut ini.

وهذا معنى قول بعضهم إن لهم التصرف فالتصرف الحقيقي الذي هو التأثير والخلق والإيجاد لله تعالى وحده لا شريك له، ولا تأثير للولي ولا غيره في شيء قط لا حيا ولا ميتا. فمن اعتقد أن للولي أو غيره تأثيرا في شيء فهو كافر باالله تعالى فأهل البرزخ من الأولياء في حضرة الله، فمن توجه إليهم وتوسل بهم فإنهم يتوجهون إلى الله تعالى في حصول مطلوبه فالتصرف الحاصل منهم هو توجههم بأرواحهم إلى الله تعالى والتصرف الحقيقي لله وحده

Artinya, “Ini pengertian ucapan sebagian ulama bahwa para wali dapat berbuat sesuatu. Perbuatan sejati yaitu memberikan dampak, menciptakan, dan mengadakan sesuatu hanya dilakukan oleh Allah yang esa, tanpa sekutu. Wali dan orang bukan wali tidak memberi dampak sedikit pun terhadap sesuatu baik ketika hidup maupun setelah wafat. Siapa saja yang meyakini bahwa wali dan orang bukan wali memberi dampak pada sesuatu, maka ia telah kufur terhadap Allah. Para wali di alam barzakh berada di hadirat Allah. Siapa saja yang mengarah kepada mereka dan bertawassul melalui mereka, maka sungguh mereka mengarah kepada Allah dalam mewujudkan permintaan tersebut. Perbuatan para wali yang terwujud hakikatnya adalah tawajuh mereka kepada Allah sehingga perbuatan hakiki dilakukan oleh Allah sendiri,” (Lihat Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 466-467).

Bagi kalangan Aswaja, keramat para wali dipahami sebagai sebab adat yang tidak berpengaruh seperti hubungan makanan-kenyang, obat-kesembuhan, dan hubungan sebab-akibat lainnya. Sebab hakiki, bagi kalangan Aswaja, adalah Allah sehingga dalam keyakinan mereka Allah pemberi rasa kenyang dan Allah pemberi kesembuhan.

فالواقع منهم من جملة الأسباب العادية التي لا تأثير لها وإنما يوجد الأمر عندها لا بهاعلى حسب ما أجراه الله تعالى من العوائد ولا تغتر بالشبهات التى تمسك بها الوهابية في منع التوسل والزيارة فإنها حجة باطلة

Artinya, “Sesuatu yang terjadi dari para wali itu hanya sebab adat (sabab adi) yang tidak memiliki dampak. Sesuatu terjadi hanya berdampingan dengan sebab, bukan karena dipengaruhi oleh sebab tersebut sesuai dengan hukum kebiasaan yang diberlakukan oleh Allah. Jangan tertipu oleh propaganda kelompok wahabi untuk membuat ragu dalam menolak tawasul dan ziarah karena propaganda mereka adalah hujah yang batil,” (Lihat Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 466-467).

Adapun sebagian kelompok melancarkan propaganda batil yang bertujuan membuat ragu kalangan Aswaja. Propaganda sebagian kelompok ini kemudian diuji dan dipatahkan oleh seorang mufti Syafi’iyah di Mekkah pada abad ke-19 M, yaitu Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.

وقد بسط الكلام على ردها العلامة السيد أحمد دحلان في كتاب خلاصة الكلام في بيان أمراء البلد الحرام ونقله العلامة يوسف النبهاني في كتاب شواهد الحق فانظره فإنه مهم

Artinya, “Sayyid Ahmad Zaini Dahlan telah membuat ulasan panjang perihal kelemahan hujah propaganda wahabi dalam karyanya Khulashatul Kalam fi Bayani Umara’il Baladil Haram. Penjelasan Syekh Ahmad Zaini Dahlan ini dikutip oleh Syekh Yusuf An-Nabhani dalam Kitab Syawahidul Haq. Perhatikan ulasan tersebut karena ini pasal penting,” (Lihat Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 466-467).

Perbedaan pandangan soal praktik tawasul dan keramat para wali ini seharusnya disikapi secara bijaksana. Pendukung kedua kelompok yang berbeda ini seharusnya saling menghargai, bukan saling mencaci. Wallahu a ‘lam. (Alhafiz K)

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/101203/keramat-para-wali-dalam-aqidah-ahlussunnah-wal-jamaah (Jumat 4 Januari 2019 15:30 WIB)

Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya

Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya

25. Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya

MARHABAN YA RAMADHAN

5 Ramadhan 1442 H - 17 April 2021

Oleh: Isnan Ansory

Secara umum, disunnahkan bagi seorang yang berpuasa untuk memperbanyak ibadah-ibadah yang dihukumi oleh syariat sebagai amalan sunnah. Seperti memperbanyak shalat-shalat sunnah, zikir lisan dan amalan-amalan lainnya. 

Bahkan disebutkan dalam hadits bahwa pahala dari ibadah sunnah yang dilakukan pada bulan Ramadhan berbobot nilai seperti ibadah wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنْ سَلْمَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ» (رواه ابن خزيمة والبيهقي)

Dari Salman - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berkhutbah di hari terakhir dari bulan Sya’ban, dan bersabda: “Wahai manusia, telah mendekati kalian bulan yang agung (Ramadhan), bulan yang berkah, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa di siang harinya sebagai fardhu dan qiyam di dalam harinya sebagai tathawwu’ (sunnah). Siapa yang bertaqarrub di dalamnya dengan suatu kebaikan (sunnah), maka senilai dengan ibadah fardhu. Dan siapa yang beribadah fardhu, maka senilai ibadah 70 kali fardhu. Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan balasan dari sabar adalah surga. Ramadhan adalah bulan saling berbagi, yang ditambahkan bagi orang beriman rizkinya. Siapa yang memberi makanan berbuka bago orang yang berpuasa, maka menjadi ampunan atas dosanya dan penyelamat dari azab neraka. Dan ia mendapatkan pahala puasanya, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi)

Namun, ada beberapa ibadah yang secara khusus dianjurkan untuk banyak dilakukan di bulan Ramadhan, di antaranya:

1. Membaca Al-Quran

Para ulama sepakat bahwa disunnahkan bagi orang yang sedang berpuasa, untuk memperbanyak membaca al-Quran.

عَن ابْن عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: « ... وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي رَمَضَانَ، حَتَّى يَنْسَلِخَ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - القُرْآنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ أَجْوَدَ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ» (رواه البخاري) 

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu - berkata: “ ... Dan Jibril sa datang menemui Beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan (untuk membacakan al-Qur'an) hingga al-Qur'an selesai dibacakan untuk Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -. Apabila Jibril as datang menemui Beliau, maka Beliau adalah orang yang paling lembut dalam segala kebaikan melebihi lembutnya angin yang berhembus.” (HR. Bukhari)

2. Sedekah

Para ulama sepakat bahwa memperbanyak sedekah sangat disunnahkan saat berpuasa, termasuk diantaranya adalah memberi keluasan belanja pada keluarga, berbuat ihsan kepada famili dan kerabat. 

Diriwayatkan bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - adalah orang yang paling bagus dalam kebajikan. Dan menjadi lebih baik lagi saat bulan Ramadhan ketika Jibril - ’alaihis salam - mendatanginya.

عَن بْن عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَجْوَدَ النَّاسِ بِالخَيْرِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ...  (رواه البخاري)

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - itu orang yang sangat murah dengan sumbangan. Namun saat beliau paling bermurah adalah di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril ... (HR. Bukhari Muslim)

3. Shalat-shalat Sunnah Khas Ramadhan

Selain sunnah-sunnah di atas, terdapat beberapa jenis ibadah sunnah yang menjadi kekhasan ibadah di bulan Ramadhan. Seperti shalat tarawih, tahajjud dan witir. 

a. Shalat Tarawih

Para ulama sepakat bahwa disunnahkan untuk melaksanakan shalat tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, dengan ketentuan yang InsyaAllah akan dijelaskan pada bab berikutnya. Dasar kesunnahan ibadah ini adalah hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: «قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ» (متفق عليه)

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: sesungguhnya Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - pada suatu malam pernah melaksanakan shalat kemudian orang-orang shalat dengan shalatnya tersebut, kemudian beliau shalat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya bertambah banyak, kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berkata: “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau khawatir bahwa shalat tersebut akan difardukan.” Rawi hadits berkata: Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari Muslim)

b. Ihya’ al-Lail 

Di antara amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada bulan Ramadhan adalah ihya’ al-lail bil ‘ibadah atau menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. 

Di mana ibadah paling utama untuk dilakukan di malam hari adalah shalat tahajjud. Meskipun tidak terdapat dalil khusus tentang anjuran untuk melakukannya di malam Ramadhan, namun karena Allah - ta’ala - melipat gandakan setiap amalan ibadah di malam-malam Ramadhan, maka tentu shalat tahajjud juga dianjurkan untuk dilakukan secara khusus di malam-malam Ramadhan.

Shalat tahajjud adalah shalat malam yang dilakukan selepas tidur. Adapun qiyamul-lail secara umum adalah setiap shalat yang dilakukan di malam hari, di mulai dari shalat maghrib hingga shalat-shalat yang dilakukan sebelum tidur, termasuk shalat tarawih dan shalat witir. Sedangkan ihya’ul-lail adalah setiap ibadah yang dilakukan di malam hari, meliputi ibadah shalat dan ibadah lainnya seperti membaca al-Qur’an, dzikir, belajar ilmu, dan lainnya. 

Adapun dasar dianjurkan melakukan shalat tahajjud dan ibadah lainnya yang dilakukan di malam hari, berdasarkan keumuman disunnahkannya melakukan qiyamul-lail dan ihya’ al-lail di malam-malam bulan Ramadhan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Barangsiapa yang melaksanakan shaum Ramadhan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan barangsiapa yang menegakkan (ibadah) lailatul qadar karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya.” (HR. Bukhari)

عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا -، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، «إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ» (متفق عليه)

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: “Bila telah memasuki 10 malam terakhir bulan Ramadhan, Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - menghidupkan malam, membangunkan keluarganya (istrinya) dan meninggalkan istrinya (tidak berhubungan suami istri).” (HR. Bukhari dan Muslim)

c. Shalat Witir

Sebagaimana shalat tahajjud dan shalat tarawih, disunnahkan pula secara khusus untuk melakukan shalat witir di malam bulan Ramadhan. Sekalipun shalat tahajjud dan shalat witir ini pada dasarnya disunnahkan pula untuk dilakukan di bulan lainnya.

عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -، قَالَتْ: «مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ» (رواه مسلم)

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: “Tiap malam Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - melakukan shalat witir, terkadang di awal, di tengah dan di akhirnya. Shalat witirnya berakhir di waktu sahur.” (HR. Muslim)

4. Beri‘tikaf

I’tikaf adalah ibadah dengan cara menyerahkan diri kepada Allah - ta’ala -, dalam wujud memenjarakan diri di dalam masjid, dan menyibukkan diri dengan berbagai bentuk ibadah yang layak dilakukan di dalamnya. 

Para ulama sepakat bahwa disunnah secara khusus di bulan Ramadhan untuk melakukan i’tikaf. Khususnya pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي، فَلْيَعْتَكِفِ العَشْرَ الأَوَاخِرَ (رواه البخاري)

Dari Abu Sa’id al-Khudri - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

16 April 2021

Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah

Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah - Kajian Islam Tarakan

[AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH]

“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat" 

(Al-firqah An-najiyah). 

Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. 

Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan Al-Asy’ariyyah. 

Sebuah golongan yang namanya dinisbatkan kepada Asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya.

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. 

Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam :

.. ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺑُﺤْﺒُﻮْﺣَﺔَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺰَﻡِ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤّﺤﻪ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻗﺎﻝ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ )

Maknanya : 

“…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada Al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah.” 

(Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)

Setelah tahun 260 Hijriah menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. 

Maka dua Imam yang agung Abu Al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W. 333 H) semoga Allah meridhai keduanya menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash Al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap kesesatan-kesesatan Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. 

Ahlussunnah akhirnya dikenal dengan nama Al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan Al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).

Jalan yang ditempuh oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.

Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) dalam al Ithaf , juz II hal. 6, mengatakan: 

“Pasal Kedua: “Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah.” Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas). 

Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah).

Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan tersesat. 

Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka. Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an-Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab :

ﺇِﻳْـﻤَﺎﻥٌ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ )

Maknanya: 

“Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. al Bukhari)

Al-‘Arif Billah al-Imam as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad (w 1132 H), Shahib ar-Ratib, dalam karyanya berjudul Risalah al-Mu’awanah, h. 14,

Sumber FB : Fauzi Febrianto Chaniago bersama Willy Chaniago dan 11 lainnya.

18 Maret 2021 pada 05.15  · 

Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)

Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor) - Kajian Islam Tarakan

24. Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)

MARHABAN YA RAMADHAN

4 Ramadhan 1442 H - 16 April 2021

Oleh. Isnan Ansory

Para ulama sepakat bahwa berbuka puasa pada waktunya terhitung sebagai amalan sunnah dalam ibadah puasa. Dalam hal ini ada beberapa kesunnahan yang secara khusus dianjurkan untuk dilakukan ketika berbuka puasa, di antaranya:

1. Menyegerakan Berbuka

Para ulama sepakat bahwa disunnahkan dalam berbuka puasa untuk men-ta‘jil atau menyegerakan berbuka sebelum shalat Maghrib. Meski hanya dengan seteguk air atau sebutir kurma. 

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: «لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ» (متفق عليه)

Dari Sahl bin Sa’ad - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Umatku masih dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari Muslim) 

2. Berdoa Saat Berbuka

Para ulama sepakat bahwa disunnahkan untuk berdoa saat berbuka puasa. Sebagaimana disunnahkan pula untuk membaca do‘a yang ma‘tsur dari Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - ketika berbuka puasa. Karena do‘a orang yang berpuasa dan berbuka termasuk doa yang mustajab. 

عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ. (رواه ابن ماجه)

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bagi orang yang berpuasa ketika sedang berbuka ada doa yang tak akan ditolak.” (HR. Ibnu Majah) 

Sedangkan di antara teks doa yang diajarkan Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -, sebagaimana dijelaskan oleh imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar, berikut ini:(1)  

روينا في سنن أبي داود، والنسائي، عن ابن عمر - رضي الله عنهما -، قال: كان النبي - صلى الله عليه وسلم - إذا أفطر قال: 

ذَهَبَ الظَّمأُ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ، وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شاءَ اللَّهُ تَعالى 

Kami (imam an-Nawawi) meriwayatkan dari sunan Abu Dawud dan Nasai, dari Ibnu Umar - radhiyallahu ‘anhu - yang berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - jika berbuka puasa membaca doa:

“Telah hilang haus dan telah basah tenggorakan dan telah pasti balasan Insya Allah.”

وروينا في سنن أبي داود، عن معاذ بن زهرة، أنه بلغه، أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا أفطر قال: 

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ.

Dan kami meriwayatkan alam sunan Abi Dawud dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - jika berbuka puasa membaca doa: 

“Ya Allah, kepada Engkaulah aku berpuasa dan dengan rizki dari-Mu aku berbuka." 

 وروينا في كتاب ابن السني، عن معاذ بن زهرة، قال: كان رسولُ الله - صلى الله عليه وسلم - إذا أفطر قال: 

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذي أعانَنِي فَصَمْتُ، وَرَزَقَنِي فأفْطَرْتُ.

Dan kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu as-Sunni dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - jika berbuka puasa membaca doa:

“Maha suci Allah yang telah menolongku, maka aku dapat berpuasa. Dan memberiku rizki, maka aku dapat berbuka.”

وروينا في كتاب ابن السني عن ابن عباس - رضي الله عنهما -، قال: كان النبي - صلى الله عليه وسلم - إذا أفطر قال: 

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنا، وَعلى رِزْقِكَ أَفْطَرْنا، فَتَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ العَلِيمُ.

Dan kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu as-Sunni dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - jika berbuka puasa membaca doa:

“Ya Allah untuk-Mu kami berpuasa, dan dengan rizki-Mu kami berbuka, maka terimalah ibadah kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

وروينا في كتابي ابن ماجه، وابن السني، عن عبد الله بن أبي مليكة، عن عبد الله بن عمرو بن العاص - رضي الله عنهما -، قال: سمعتُ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول: إنَّ للصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً ما تُرَدُّ. قال ابن أبي مُليكة: سمعتُ عبد الله بن عمرو إذا أفطرَ يقول: 

اللَّهُمَّ إني أسألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كل شئ أنْ تَغْفِرَ لي.

Dan kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu Majah dan Ibnu as-Sunni dari Abdullah bin Abi Malikah dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash - radhiyallahu ‘anhu -, bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Bagi orang yang berpuasa terdapat doa yang tidak tertolak. Ibnu Abi Malikah berkata: Aku mendengar Abdullah bin Amr - radhiyallahu ‘anhu -, jika berbuka membaca doa:

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi setiap sesuatu, Engkau berkehendak mengampuni diriku.”

Doa-doa tersebut, menurut Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani (w. 1316 H), disunnahkan dibaca setelah berbuka, bukan sebelum berbuka.(2)  

3. Saling Berbagi Makanan Ifthor

Para ulama sepakat bahwa disunnahkan untuk memberi makan saat berbuka bagi orang yang berpuasa. Bahkan balasan perbuatan ini sangat besar sebesar pahala orang yang diberi makan itu tanpa dikurangi pahala puasanya. Bahkan sekalipun pemberian ifthor itu hanya sekedar memberi sebutir kurma atau seteguk air putih saja.

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الجُهَنِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا» (رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه) 

Dari Zaid bin Khalid al-Juhani - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Siapa yang memberi makan (saat berbuka) untuk orang yang berpuasa, maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang diberi makannya itu tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala puasanya.” (HR Tirmizi, Nasai dan Ibnu Majah) 

Dan disunnahkan bagi yang diberi makanan berbuka untuk mendoakan kebaikan bagi yang memberi. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جَاءَ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ، فَجَاءَ بِخُبْزٍ وَزَيْتٍ، فَأَكَلَ، ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ» (رواه أبو داود وابن ماجه والنسائي وأحمد)

Dari Anas - radhiyallahu ‘anhu -: bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - mendatangi Sa’ad bin Ubadah, lantas Sa’ad membawakan untuk Nabi makanan berupa roti dan minyak samin, lalu Nabi memakannya. Kemudian Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: 

“Telah berbuka puasa bersama kalian orang-orang yang berpuasa, dan makan makanan kalian orang-orang baik, dan malaikat bershalat atas kalian.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasai dan Ahmad)

4. Berbuka Dengan Ruthab, Kurma atau Air

Para ulama sepakat bahwa berbuka puasa dengan menu kurma dan air, hukumnya adalah sunnah. 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَتَمَرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ» (رواه أحمد وأبو داود)

Dari Anas bin Malik - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: ”Rasulullah berbuka dengan rutab sebelum shalat, jika tidak terdapat rutab (kurma muda), maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), jika tidak ada beliau meneguk air.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ تَمْرًا فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ، فَإِنَّهُ لَهُ طَهُورٌ» (رواه أحمد وأبو داود والترمذي)

Dari Salman bin Amir adh-Dhabbi - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bila kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma, karena kurma itu barakah. Kalau tidak ada kurma, maka dengan air, karena air itu mensucikan.” (HR. Ahamd, Abu Daud, dan Tirmizy)

----------------------

(1)  Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Adzkar, (Bairut: Dar al-Fikr, 1414/1994), hlm. 190.

(2)  Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 224.

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

16 April 2021

Qoute Islam

Doa Islam