UBUDIYAH
Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/107650/12-kesunnahan-saat-gosok-gigi-atau-bersiwak (Kamis 20 Juni 2019 16:00 WIB)
Gosok gigi atau bersiwak sekilas terlihat sepele, tapi sesungguhnya mempunyai peranan penting, baik terkait interaksi sosial maupun pelaksanaan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita bisa bayangkan bagaimana perasaan seseorang ketika diskusi bersama orang lain dengan jarak yang sangat dekat tiba-tiba mencium bau mulut tidak sedap. Bukankah itu mengganggu?
Begitu pula orang yang sedang melaksanakan shalat. Karena tidak gosok gigi, sisa-sisa makanan yang ada di mulut bisa amat mengganggu konsentrasi shalat atau kalau tertelan malah justru bisa membatalkan shalat. Ternyata ada banyak hikmah dari gosok gigi yang disunnahkan oleh syariat tersebut.
Gosok gigi atau bersiwak cukup penting diperhatikan. Bahkan, kita disunnahkan mengajari anak kecil bersiwak. Tujuannya bukan untuk kesehatan mulutnya semata tapi juga membiasakan mereka melakukan kesunahan-kesunahan sejak dini sebagai bekal kelak saat dewasa.
قَالُوا وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُعَوِّدَ الصَّبِيَّ السِّوَاكَ لِيَأْلُفَهُ كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ
Artinya: “Para ulama mengatakan bahwa disunnahkan untuk melatih kebiasaan anak kecil untuk bersiwak supaya anak terbiasa melakukannya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain,” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Dar al-Fikr], juz 1, hal. 283).
Dalam bersiwak diutamakan memakai jenis kayu arok, namun apabila menggunakan selain kayu tersebut yang penting adalah kasar seperti gosok gigi, maka tetap mendapatkan kesunnahan. Demikian disampaikan banyak ulama termasuk di antaranya Imam Nawawi.
Bersiwak juga disunnahkan dilakukan secara berulang kali untuk shalat yang mempunyai takbiratul ihram berulang-ulang seperti shalat tarawih, dhuha, shalat qabliyah ba’diyah empat rakaat yang dilakukan dengan dua kali salam, dan lain sebagainya. Kesimpulan ini diambil dari redaksi hadits yang menggunakan frasa “niscaya saya perintahkan kepada mereka untuk bersiwak setiap kali shalat.”
إذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةً ذَاتَ تَسْلِيمَاتٍ كَالتَّرَاوِيحِ وَالضُّحَى وَأَرْبَعَ رَكَعَاتٍ سُنَّةَ الظُّهْرِ أَوْ الْعَصْرِ وَالتَّهَجُّدَ وَنَحْوَ ذَلِكَ اُسْتُحِبَّ أَنْ يَسْتَاكَ لِكُلِّ رَكْعَتَيْنِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَمَرْتهمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ أَوْ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ وَهُوَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ كَمَا سَبَقَ
Artinya: “Jika ada orang yang ingin melakukan shalat yang mempunyai banyak salam seperti shalat tarawih, dhuha, shalat empat rakaat sunnah dzuhur dan ashar, tahajjud, dan lain sebagainya, maka disunnahkan bersiwak setiap kali dua rakaat karena berdasar sabda Rasulullah ﷺ ‘niscaya akan aku perintahkan kepada mereka untuk bersiwak pada setiap kali shalat.’ Hadits tersebut shahih,” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, hal. 283).
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan betapa siwak atau gosok gigi merupakan kegiatan yang tidak wajib tapi perlu kita perhatikan sebab sedemikian pentingnya. Lalu bagaimana tata cara gosok gigi atau bersiwak yang disunnahkan? Berikut kesunnahan dalam bersiwak sesuai dengan kitab Al Baijuri, juz 1, halaman 84-85:
Pertama, dimulai dari niat. Orang yang gosok gigi secara kebetulan atau memang sudah menjadi rutinitasnya setiap hari, bisa tak mendapat kesunnahan bersiwak ketika dijalankan tanpa niat melakukan kesunahan.
Kedua, bersiwak menggunakan tangan kanan. Hal ini dilakukan karena mengikuti perilaku Rasulullah ﷺ, yang ketika menjalankan hal-hal baik menggunakan tangan kanan. Hal ini juga sebagai pembeda antara bersiwak dan istinja’ (cebok) atau kegiatan yang identik dengan barang kotor lainnya.
Ketiga, jari kelingking berada di bawah batang siwak (atau sikat gigi). Sedangkan jari manis, jari tengah dan jari telunjuk berada di atas batang siwak dan jempol berada di bawah bagian kepada siwak. Setelah bersiwak, hendaknya batang siwak diletakkan di bagian belakang telinga kiri.
ويسن ان يجعل الخنصر من اسفله والبنصر والوسطى والسبابة فوقه والإبهام اسفل رأسه ثم يضعه بعد ان يستاك خلف أذنه اليسرى لخبر فيه
Artinya: “Disunnahkan menjadikan jari kelingking berada di bawah batang siwak, sedangkan jari manis, tengah dan telunjuk di atasnya dan jempol di bagian atas kepala siwak. Setelah bersiwak, kayu siwak diletakkan di belakang telinga bagian kiri. Hal ini berdasarkan hadits Baginda Nabi Muhammad ﷺ,” (Ibrahim Al-Bayjuri, Hasyiyah Syekh Ibrahim Al-Bayjuri, [Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut], juz 1, hal. 84).
Masih dalam kitab yang sama, sebagian ulama menyunnahkan membaca doa berikut pada saat permulaan gosok gigi:
اَللَّهُمَّ بَيِّضْ بِهِ أَسْنَانِيْ، وَشُّدُّ بِهِ لِثَاتِىْ، وَثَبِّتْ بِهِ لَهَاتِيْ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْهِ ياَ اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Allâhumma bayyidl bihî asnânî, wa syuddu bihî litsâtî, wa tsabbit bihî lahâtî, wa bârik fîhi, yâ Arhamar Râhimîn.
Artinya: “Ya Allah, semoga Engkau putihkan gigi-gigiku, kokohkan gusi-gusiku, kuatkan katup nafas kami, berilah kami keberkahan, wahai Dzat yang Maha-paling kasih.”
Keempat, disunnahkan menelan ludah pada kali pertama memulai bersiwak walaupun kayu atau batang siwak yang dibuat untuk gosok gigi tidak dalam kondisi baru. Ada kesunnahan menyuci batang siwak pada setiap kali bersiwak.
Kelima, panjang batang sikat gigi atau kayu siwak makruh jika lebih panjang dari satu jengkal. Apabila lebih dari satu jengkal, konon setan numpang naik pada sisi lebihnya.
Keenam, disunnahkan ada guritan-guritan celah pada kayu siwak, atau kalau dalam sikat gigi ada sudah cukup karena ada bulu-bulunya.
Ketujuh, bersikap tenang dan diam. Makruh bersiwak sambil berbicara atau berbincang dengan orang lain.
Kedelapan, disunnahkan memulai bersiwak dari area mulut bagian kanan sampai separuh. Baru kemudian bagian separuh yang kiri. Hal itu berlaku untuk bagian dalam daripada gigi serta gigi bagian luar.
Kesembilan, sunnah menggosok bagian pangkal gigi geraham baik secara membujur maupun melintang.
Kesepuluh, sunnah menggosok bagian langit-langit mulut dan gigi-gigi yang masih tersisa secara melintang.
Kesebelas, menggosok bagian lidah secara membujur.
Kedua belas, gosokan-gosokan dilakukan secara lembut dan pelan-pelan. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang