Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar

Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar

26. Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar

MARHABAN YA RAMADHAN

6 Ramadhan 1442 H - 18 April 2021

Oleh: Isnan Ansory

A. Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Merusak Pahala Puasa

Para ulama sepakat bahwa dosa yang dilakukan pada saat berpuasa tidak menyebabkan puasa seseorang batal, selama dosa yang dimaksud bukan termasuk pembatal puasa. Hanya saja, dalam beberapa keterangannya, Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - mengajarkan untuk meninggalkan dosa-dosa tersebut secara khusus, karena dapat berakibat pada rusaknya nilai pahala ibadah puasa yang dilakukan.

Di antara dosa-dosa yang Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - peringatkan secara khusus untuk ditinggalkan selama berpuasa Ramadhan sebagaimana berikut:

1. Menjaga Lisan & Anggota Tubuh

Pada dasarnya manusia akan mempertanggungjawabkan setiap apa yang dilontarkan oleh lisannya dan apa yang diperbuat oleh anggota tubuhnya. Dan oleh sebab itu, menjaga lidah dan anggota tubuh dari perbuatan haram pada hakikatnya haruslah dilakukan kapanpun.

Namun para ulama sepakat bahwa melakukan hal di atas lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadhan. Di mana terdapat hadits yang secara khusus memerintahkan untuk menjaga lidah dari perkataan kotor dan keji serta perkataan yang membawa kepada kefasikan dan kejahatan seperti ghibah (bergunjing), namimah (mengadu domba), dusta dan kebohongan. Meskipun para ulama sepekat bahwa perbuatan tersebut tidak sampai membatalkan puasanya, namun pahalanya dapat hilang di sisi Allah - ta’ala -. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ» (رواه البخاري) 

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya". (HR Bukhari)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ. (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Shaum itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat keji (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali).  (HR. Bukhari Muslim)

Terkait adab dalam menjawab celaan orang lain ketika berpuasa, para ulama sepakat disunnahkan untuk menjawabnya sebagaimana keterangan hadits di atas. Yaitu dengan mengatakan “aku sedang berpuasa”. 

Namun para ulama sepakat bahwa anjuran ini hanya terkait dengan puasa Ramadhan yang hukumya wajib. Tetapi jika puasa sunnah, maka tidak perlu mengatakannya agar tidak menjadi sebab timbulnya riya‘. Karena itu cukup dia menahan diri dan mengatakannya dalam hati. 

2. Menekan Nafsu & Syahwat

Ada nafsu dan syahwat tertentu yang tidak sampai membatalkan puasa jika dilakukan, seperti menikmati wewangian atau melihat sesuatu yang menyenangkan dan halal. Namun meski hal-hal tersebut pada dasarnya tidak membatalkan ibadah puasa, namun disunnahkan untuk meninggalkannya. 

Contoh lain seperti bercumbu antara suami istri. Selama tidak sampai mengeluarkan mani atau tidak sampai melakukan hubungan seksual, sesungguhnya tidak membatalkan puasa. Tetapi sebaiknya hal itu ditinggalkan untuk mendapatkan keutamaan ibadah puasa sebagai ibadah yang berfungsi untuk menekan nafsu dan syahwat manusia.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ ... «يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا» (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Puasa adalah tameng … “(Allah berfirman) Hambaku berpuasa dengan menahan makan, minum, dan syahwatnya demi-Ku. Puasanya adalah milik-Ku dan aku akan memberinya ganjaran, dimana satu kebaikan dilipat gandakan hingga sepuluh lipat.” (HR. Bukhari Muslim)

B. Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar

Umumnya para ulama sepakat bahwa disunnahkan pula untuk mandi, baik dari janabah, haid atau nifas sebelum masuk waktu fajar. Agar saat berpuasa, berada dalam kondisi suci. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(1) 

يُسْتَحَبُّ تَقْدِيمُ غُسْلِ الْجَنَابَةِ مِنْ جِمَاعٍ أَوْ احْتِلَامٍ عَلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ.

Dianjurkan mendahulukan mandi janabah karena sebab jima’ atau ihtilah, sebelum terbit fajar.

Selain itu anjuran ini juga demi terlepas dari perbedaan pendapat ulama lainnya yang menilai tidak sahnya puasa dalam kondisi berhadats besar saat memulai ibadah puasanya. 

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، أَنَّ أَبَاهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَ مَرْوَانَ، أَنَّ عَائِشَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ أَخْبَرَتَاهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ «يُدْرِكُهُ الفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ، وَيَصُومُ»، وَقَالَ مَرْوَانُ، لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ، أُقْسِمُ بِاللَّهِ لَتُقَرِّعَنَّ بِهَا أَبَا هُرَيْرَةَ. وَمَرْوَانُ، يَوْمَئِذٍ عَلَى المَدِينَةِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: فَكَرِهَ ذَلِكَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، ثُمَّ قُدِّرَ لَنَا أَنْ نَجْتَمِعَ بِذِي الحُلَيْفَةِ، وَكَانَتْ لِأَبِي هُرَيْرَةَ هُنَالِكَ أَرْضٌ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: لِأَبِي هُرَيْرَةَ إِنِّي ذَاكِرٌ لَكَ أَمْرًا وَلَوْلاَ مَرْوَانُ أَقْسَمَ عَلَيَّ فِيهِ لَمْ أَذْكُرْهُ لَكَ، فَذَكَرَ قَوْلَ عَائِشَةَ، وَأُمِّ سَلَمَةَ: فَقَالَ: كَذَلِكَ حَدَّثَنِي الفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ وَهُنَّ أَعْلَمُ وَقَالَ هَمَّامٌ، وَابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَأْمُرُ بِالفِطْرِ – من أصبح جنبا - «وَالأَوَّلُ أَسْنَدُ» (رواه البخاري)

Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, bahwa bapaknya (Abdurrahman) mengabarkan kepada Marwan bahwa Aisyah dan Ummu Salamah - radhiyallahu ‘anhuma - telah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - pernah mendapatkan waktu Fajar saat Beliau sedang junub di rumah keluarga Beliau. Maka kemudian Beliau mandi dan berpuasa. Dan berkata Marwan kepada Abdurrahman: Aku bersumpah dengan nama Allah. aku pasti menyampaikan hal ini kepada Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -. Saat itu Marwan adalah pemimpin di Madinah. Maka Abu Bakar berkata: Kejadian itu membawa Abdurrahman merasa tidak senang. Kemudian kami ditakdirkan berkumpul di Dzul-Hulaifah yang ketika itu Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - termasuk yang hadir di sana. Maka Abdurrahman berkata kepada Abu Hurairah: Aku akan menyampaikan satu hal kepadamu yang seandainya Marwan tidak bersumpah tentangnya kepadaku maka aku tidak akan menyampaikannya kepadamu. Maka dia menyebutkan apa yang disampaikan Aisyah dan Ummu Salamah di atas. Mendengar itu, Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - berkata: Persoalan tadi pernah pula diceritakan kepadaku oleh al-Fadhal bin Abbas, sedangkan mereka (Aisyah dan Ummu Salamah) lebih mengetahui perkara ini. Dan berkata Hammam dan Ibnu Abdullah bin Umar dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Adalah Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - memerintahkan untuk berbuka/ membatalkan puasa (dalam kasus junub setelah masuk waktu Fajar). Namun hadits pertama (hadits Aisyah dan Ummu Salamah) di atas lebih kuat sanadnya. (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila seseorang dalam kondisi junub di malam hari dan belum sempat mandi, padahal waktu subuh sudah masuk, maka puasanya tetap sah. 

Sedangkan terkait hadits Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - di atas, ditafsirkan oleh mayoritas ulama, bahwa yang dimaksud dengan junub yang membatalkan puasa adalah seseorang yang meneruskan jima'-nya setelah masuk waktu shubuh.

-------------------

(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/377.

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

18 April 2021

Share this

Share on FacebookTweet on TwitterPlus on Google+