Iqamah merupakan penanda dekatnya pelaksanaan shalat yang dilaksanakan setelah mengumandangkan azan. Meski iqamah ini tidak hanya disunnahkan pada shalat jamaah saja (tapi juga dianjurkan dalam shalat sendirian), namun realitasnya masyarakat lebih menjadikan iqamah sebagai ikon dari shalat jamaah, terlebih shalat jamaah yang dilaksanakan di masjid dan mushalla.
Permasalahan terjadi ketika salah satu jamaah masjid atau mushalla sedang melaksanakan shalat sunnah rawatib atau tahiyyatul masjid, namun di pertengahan shalat sunnahnya, tiba-tiba iqamah berkumandang, dalam keadaan demikian apakah yang harus dilakukan oleh jamaah ini?
Dalam menjawab persoalan diatas, patut dipahami terlebih dahulu bahwa dikumandangkannya seruan iqamah, merupakan penanda larangan melaksanakan shalat lain selain shalat fardhu, hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits:
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
Artinya, “Ketika iqamah sudah berkumandang, maka tidak ada shalat lain (yang dilakukan) kecuali shalat fardhu,” (HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits di atas para ulama’ memberikan vonis hukum makruh bagi orang yang tetap melaksanakan shalat sunnah ketika iqamah sudah dikumandangkan, atau ketika waktu pelaksanaan iqamah hampir dilaksanakan.
Namun ketika iqamah berkumandang ketika ia sedang melaksanakan shalat sunnah, para ulama’ memberikan berbagai perincian hukum dalam menyikapi masalah demikian.
Ketika ia yakin bahwa dengan menyempurnakan shalat sunnah ia tidak akan tertinggal dari shalat jamaah, maka ia dianjurkan untuk terus menyelesaikan shalat sunnah sampai selesai dengan sedikit mempercepat agar bisa segera merapat pada shalat jamaah.
Sedangkan ketika ia khawatir akan tertinggal dari shalat jamaah ketika merampungkan shalat sunnahnya, dikarenakan bacaan imam yang terlalu cepat misalnya, maka ia dianjurkan untuk memutus shalatnya seketika itu juga, agar bisa melaksanakan shalat jamaah.
Memutus shalat dalam keadaan demikian hanya dianjurkan ketika sudah tidak bisa diharapkan lagi adanya pelaksanaan shalat jamaah yang lain. Namun ketika masih diharapkan adanya pelaksanaan jamaah yang lain, maka ia dianjurkan untuk terus menyelesaikan shalat sunnahnya sampai selesai, meskipun tertinggal jamaah yang baru saja diiqamahi, setelah itu ia melaksanakan shalat jamaah pada gelombang selanjutnya.
Perincian ini dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’in:
وكره ابتداء نفل بعد شروع المقيم في الإقامة ولو بغير إذن الإمام فإن كان فيه أتمه إن لم يخش بإتمامه فوت جماعة وإلا قطعه ندبا ودخل فيها ما لم يرج جماعة أخرى
Artinya, “Dimakruhkan melaksanakan shalat Sunnah setelah seseorang telah mengumandangkan iqamah, meskipun tanpa seizin imam. Jika saat iqamah dikumandangkan seseorang terlanjur sedang melaksanakan shalat Sunnah maka ia (disunnahkan) untuk tetap menyempurnakan shalatnya ketika memang tidak dikhawatirkan kehilangan (tidak terkejar) shalat jamaah. Jika ia khawatir kehilangan shalat jamaah maka ia disunnahkan untuk memutus sholat sunnahnya dan langsung melaksanakan shalat jamaah jika memang tidak bisa diharapkan lagi adanya pelaksanaan shalat jamaah yang lain” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, juz II, halaman 15).
Umumnya yang terjadi di masyarakat, ketika iqamah sudah dikumandangkan, sedangkan ia masih melaksanakan shalat sunnah, menyelesaikan shalat sunnah ini tidak sampai menyebabkan tertinggal dari shalat jamaah, mengingat umumnya shalat sunnah adalah dua rakaat. Dengan begitu ia dianjurkan untuk merampungkan shalat sunnahnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hal yang harus dilakukan oleh orang yang sedang melaksanakan shalat sunnah saat iqamah pertanda pelaksanaan shalat jamaah sudah dikumandangkan adalah menyelesaikan shalat sunnah sampai dengan salam.
Seseorang tetap boleh untuk memutus shalat sunnah, mengingat hukum memutus shalat sunnah adalah diperbolehkan terlebih ketika ia menduga kuat akan tertinggal dan tidak mendapati shalat jamaah. Dalam keadaan ini, memutus shalat sunnah adalah hal yang dianjurkan. Wallahu a’lam. (Ustadz Ali Zainal Abidin)