Ustadz Sunnah dan Ustadz Tidak Sunnah?
Muhammad Abdul Wahab, Lc
‘Mudah menyimpulkan’ adalah pola pikir sederhana namun berbahaya. Orang bisa saling caci, saling maki, saling melemparkan ‘kata-kata mutiara’ hanya karena terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Orang yang mudah menyimpulkan sesuatu, biasanya adalah orang yang reaktif tapi malas mencari data.
Padahal, salah satu prinsip yang diajarkan Nabi adalah ketika kita tidak punya data, lebih baik menahan diri untuk berkomentar, jika komentar tersebut malah menimbulkan kemadharatan. Sebagaimana yang terkandung dalam hadits muttafaq ‘alaih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقل خيرًا أو ليصمت
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau hendaklah ia diam.
Dan berkata tanpa data bukanlah cara berkata yang baik. Apalagi kalau ujungnya sampai menghasut dan mencela orang lain.
Ustadz sunnah vs Ustadz tidak sunnah
‘Antum ustadz sunnah bukan?’, pertanyaan tersebut masih seringkali terdengar dari orang-orang awam. Walau pun penulis sendiri belum pernah ditanya seperti itu, paling tidak itu menjadi pengalaman yang pernah diceritakan beberapa kawan.
Labelisasi semacam itu lahir dari sikap tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Seakan-akan ketika ada ulama yang menyelisihi sunnah menurut dia, otomatis dianggap ulama bid’ah. Kalau pola pikirnya sudah hitam putih seperti itu, repot urusannya.
Dalil Hanya al-Quran dan Sunnah?
Salah satu yang mendasari mengapa orang mudah melabeli ulama dengan label sunnah atau tidak sunnah adalah anggapan bahwa dalil itu hanyalah al-quran dan sunnah saja, selain itu tidak dianggap sebagai dalil apalagi hanya sekedar perkataan para ulama. Padahal ketika ditanya dalil itu apa, belum tentu orang tersebut bisa menjawab.
Untuk itu kita harus membaca apa yang dimaksud dalil oleh para ulama. Para ulama mendefinisikan dalil dengan redaksi yang variatif tapi mempunyai maksud dan makna yang hampir sama. Salah satu definisi tersebut diutarakan oleh Asy-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul sebagai berikut:
وَالدَّلِيلُ مَا يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِصَحِيحِ النَّظَرِ فِيهِ إِلَى مَطْلُوبٍ خَبَرِيٍّ[1]
“Dalil adalah sesuatu yang memungkinkan untuk sampai (pada maksud) melalui pandangan yang benar dalam menetapkan hukum”
Mudahnya, dalil adalah alat yang dipakai untuk menemukan atau mengetahui hukum sesuatu. Maka konsekuensinya jika kita katakan bahwa dalil hanyalah al-quran dan sunnah, akan banyak masalah-masalah yang tidak akan kita ketahui hukumnya. Karena teks wahyu itu terbatas, sedangkan permasalahan akan selalu berkembang di setiap masa.
Oleh karena itu para ulama ushul fiqih menetapkan bahwa selain al-quran dan as-sunnah ada hal-hal lain yang bisa dijadikan dalil, di antaranya yang disepakati adalah ijma’ dan qiyas. Yang tidak disepakati lebih banyak lagi, ada qaul shahabi, syar’u man qoblana, ‘urf, istishlah, istihsan, istishab, dan lain-lain.
Al-Quran dan Sunnah Bukan Produk Hukum
Salah satu pandangan yang keliru adalah ketika menganggap bahwa al-quran dan sunnah memuat semua produk hukum. Sehingga cukup dengan membaca dan menghafal keduanya sudah dianggap cukup sebagai syarat untuk menyimpulkan hukum.
Padahal, al-Quran dan as-Sunnah tidak secara langsung menyebutkan hukum dalam artian hukum yang dimaksud dalam ilmu ushul fiqih sebagai hukum taklifi (haram, halal, sunnah, makruh, mubah) atau hukum wadh’i (syarat, sabab, mani’), melainkan keduanya adalah sumber hukum.
Dengan kata lain, al-Quran dan as-Sunnah bukan kitab yang menyajikan produk hukum yang sudah matang, melainkan ia adalah sumber yang masih harus diproses oleh para ulama agar menjadi suatu produk hukum, dengan memakai metode istimbat tertentu.
Memang ada hukum dalam istilah ilmu ushul fiqih yang secara langsung disebutkan dalam al-quran, tetapi jumlahnya sangatlah sedikit[2], contohnya keharaman memakan bangkai, darah, daging babi sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 3, atau keharaman menikahi wanita-wanita mahram dalam surat an-Nisa ayat 23.
Sementara itu, dalam al-quran dan sunnah juga terdapat kata-kata hukum yang sama dengan istilah hukum dalam ushul fiqih tapi setelah diteliti ternyata maknanya berbeda. Contohnya di dalam surat al-Isra ayat 38, Allah berfirman:
كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا
Di dalam ayat tersebut terdapat kata makruh, tapi ternyata bukan makruh yang dimaksud dalam istilah ushul fiqih, melainkan maksudnya adalah haram, bahkan kalau kita teliti perbuatan-perbuatan yang disebutkan sebelum ayat tersebut justru termasuk dosa besar, bukan sekedar makruh.
Di dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Kata wajib dalam hadits tersebut, tidak dipahami oleh para ulama sebagai wajib dalam istilah ilmu ushul fiqih, melainkan ulama empat madzhab sepakat bahwa hukum mandi di hari Jum’at adalah sunnah muakkadah.[3]
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa pernyataan yang lebih tepat adalah al-Quran dan Sunnah merupakan satu-satunya sumber hukum dalam agama Islam tetapi bukan satu-satunya dalil dalam menetapkan hukum.
Ulama yang Menyelisihi Sunnah
Kita tentu saja harus selalu ber-husnuzzhon kepada sesama muslim terlebih kepada ulama yang ikhlas dan mu’tabar dalam keilmuannya. Jangan sampai kita mudah memvonis ulama yang menurut kita menyelisihi sunnah atau hadits shahih kemudian kita nyinyir dan mengatakannya sebagai ulama ahli bid’ah.
Padahal kalau mau jujur apalah kita dibanding mereka, akhlak dan keilmuan kita dengan mereka sangat tidak layak untuk dibandingkan. Maka ketika kita menemukan ada pendapat ulama mu’tabar yang seakan-akan menyelisihi hadits shahih, tidak pantas kita langsung menyimpulkan tanpa meneliti lebih jauh apa yang menyebabkan ulama tersebut meninggalkan hadits itu.
Lalu faktor apa saja yang menjadi pertimbangan para ulama sehingga dia memilih untuk tidak mengamalkan suatu hadits. Insyaa Allah akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
Wallahu a’lam
[1] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, juz 1, hlm. 22
[2] Abdul Fattah al-Yafi’i, at-Tamadzhub Dirasah Ta’shiliyyah Muqaranah lil Masail al-Muta’alliqah bi at-Tamadzhub, hlm. 114.
[3] lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir 372/1, Ibnu Qudamah, al-Mughni 256/2, Badruddin al-‘Aini, al-Binayah 340/1, Abu Bakar al-Shaqli, al-Jami’ li Masail al-Mudawwanah 870/3
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=461&ustadz-sunnah-dan-ustadz-tidak-sunnah.htm (Thu 8 December 2016 09:00)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)