Beberapa Sunnah Ketika Makan Sahur
Beberapa Sunnah Ketika Makan Sahur
Dalam melaksanakan ibadah puasa, disyariatkan untuk makan sahur. Berikut ini beberapa sunnah (tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait makan sahur.
Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah
Makan sahur tidaklah wajib dan bukan syarat sah puasa. Namun hendaknya orang yang berpuasa bersemangat untuk melakukannya karena para ulama mengatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah karena dalam makanan sahur terdapat keberkahan” (HR. Bukhari no. 1922 dan Muslim no. 1095).
Ibnul Munzir rahimahullah mengatakan,
وأجمَعُوا على أنَّ السُّحورَ مندوبٌ إليه
“Ulama ijma’ (sepakat) bahwa sahur hukumnya dianjurkan” (Al-Ijma’, hal. 49).
Dianggap sudah melakukan aktivitas makan sahur jika makan atau minum di waktu sahur, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السُّحورُ كلُّه بركةٌ فلا تَدَعُوه ، و لَو أن يَجرَعَ أحدُكُم جَرعةً مِن ماءٍ ، فإنَّ اللهَ عزَّ وجلَّ وملائكتَه يُصلُّونَ على المتسحِّرينَ
“Makanan sahur semuanya berkah, maka jangan tinggalkan dia. Walaupun kalian hanya meneguk seteguk air. Karena Allah ‘azza wa jalla dan para malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang sahur” (HR. Ahmad no. 11101).
Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu subuh yang ditandai akhirnya dengan waktu imsak.
Dianjurkan untuk menunda sahur hingga mendekati waktu terbitnya fajar, selama tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur. Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bertanya kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu,
كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
“Berapa biasanya jarak sahur Rasulullah dengan azan (subuh)? Zaid menjawab: sekitar 50 ayat” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097).
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
في قوله: قَدْرُ خَمسينَ آيةً؛ أي: متوسِّطةٌ، لا طويلةٌ ولا قصيرةٌ ولا سريعةٌ ولا بطيئةٌ
“Perkataan Zaid [sekitar 50 ayat] maksudnya dengan kecepatan bacaan yang pertengahan. Tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat” (Fathul Bari, 1: 367).
Dari sini kita ketahui kekeliruan sebagian yang bersengaja makan sahur larut malam sekitar pukul 1 atau pukul 2 malam ketika waktu subuh di daerahnya sekitar pukul 4 pagi.
Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَ سَحورُ المؤمِنِ التَّمرُ
“Sebaik-baik makanan sahur adalah tamr (kurma kering)” (HR. Abu Daud no. 2345,).
Salafus sholeh menyebutkan dalam syarah hadis ini, “Makanan terbaik bagi seorang mukmin ketika sahur adalah kurma, sebagai persiapan dirinya untuk berpuasa. Karena waktu sahur dan kurma, dua-duanya memiliki keberkahan yang membantu seorang yang berpuasa di siang hari”.
Gunakan waktu sahur untuk banyak beristighfar
Waktu sahur adalah salah satu waktu yang terbaik untuk meminta ampunan Allah. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya,
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون
“Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18).
Gunakan waktu sahur untuk banyak berdoa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فيَقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له
“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman, ‘Orang yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Orang yang meminta sesuatu kepada-Ku, akan Kuberikan. Orang yang meminta ampunan dari-Ku, akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758).
Gunakan waktu sahur untuk banyak membaca Al-Qur’an
Waktu malam secara umum adalah waktu yang baik untuk membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
“Sesungguhnya, bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (QS. Al Muzammil: 6).
Juga sebagaimana pada hadis Zaid bin Tsabit, mengisyaratkan bahwa para sahabat biasa memanfaatkan waktu setelah makan sahur untuk membaca Al-Qur’an.
Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi hidayah dan taufikNya untuk kita semua.
Sumber FB Ustadz : Alhabib Quraisy Baharun
29 April 2021
Doa Agar Dimudahkan Dalam Segala Urusan
Doa Agar Dimudahkan Dalam Segala Urusan
Petunjuk yang sempurna datangnya hanya dari Alloh, dalam segala urusan apapun.
Salah satu doa terbaik ada dalam Al Qur'an, surat Al Kahfi ayat 10.
Doa ini dibaca oleh para pemuda yang dulu ditidurkan selama ratusan tahun di Gua Ashabul Kahfi. Mereka dalam keadaan terdesak dan benar-benar hanya meminta pertolongan Alloh, hanya meminta petunjuk Alloh.
إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا ﴿١٠﴾
"(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, "Ya Rabb, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (Q.S Al Kahfi 18:10)
Hanya Alloh.. hanya Alloh tempat bersandar kita, untuk memohon petunjuk.
Bagus untuk dipahami dan dihafalkan, minta dengan sungguh-sungguh, Insya Alloh hati lebih lapang dan akan dipermudah segala urusan kita.
#islam #muslim #kajian #dakwah #tauhid #alquran #hijrahislam #temansurga #sunnah #dakwahsunnah #dakwah #dakwahtauhid #dakwahislam #ceramah #tausiyah #yukhijrah #hijrah #hijrahcinta #pemudahijrah #hijrahku #beranihijrah #hijrahyuk #alquran
Sumber FB Ustdaz : KH. Abdullah Gymnastiar
28 April 2021 ·
Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah Abad 21
IMAM AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH ABAD 21, ABUYA ASSAYYID MUHAMMAD BIN ALWI ALMALIKI ALHASANI
(Dalam rangka Haul ke - 17, pada tgl 15 Ramadhan 1442 H)
Nama lengkap beliau adalah Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy`ari Assyadzili.
Sehari-hari beliau dipanggil Abuya.
Abuya lahir di Makkah Al Mukarramah, pada tahun 1362 H / 1943 M.
Ayah beliau bernama Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, seorang ulama terkemuka di Makkah Al Mukarramah, dan seorang mudarris (pengajar) di Masjidil Haram.
Awal masa pendidikan yang ditempuh oleh Abuya adalah berbentuk halaqah-halaqah ilmiyah yang diasuh oleh sang ayah yang bertempat di Masjid Alharam.
Selain belajar kepada ayahnya sendiri, beliau juga belajar kepada beberapa para Ulama, di antara guru beliau adalah Syeikh Hasan Muhammad Almassyath, Asayyid Amin Kutbi, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Sa`id Yamani, dan ulama-ulama lainnya
Abuya juga belajar di Madrasah Alfalah, Madrasah Shaulatiyyah, dan Madrasah Tahfidz Alquran yang berada di kota Makkah.
Beliau menimba ilmu Hadits kepada beberapa ulama di India dan Pakistan.
Beliau memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan rantas transmisi (isnad) dari Alhabib Ahmad Almasyhur Alhaddad di Jiddah, Syeikh Hasanain Makhluf dari Mesir, Syeikh Ghumari dari Maroko, dll.
Pada fase selanjutnya, beliau menempuh studi akademis di Universitas Al Azhar, Mesir, dan berhasil meraih gelar Magister dan Doktoral dari Fakultas Ushuluddin.
Beliau juga pergi ke Maroko untuk belajar kepada ulama-ulama di negeri ujung barat benua Afrika itu.
Pada tahun 1390 H / 1970 M, beliau diberi tugas mengajar di Fakultas Syari`ah di kota Makkah (1390-1399 H).
Beliau juga termasuk salah seorang staf pengajar program pasca sarjana Universitas King Abdul Aziz, Makkah.
Ketika sang ayah wafat pada tanggal 25 Safar 1391, Abuya ditunjuk menjadi pengajar di Masjidil Haram menggantikan sang ayah yangtelah mengajar di majelis tersebut selama 50 tahun lamanya.
Selain halaqah di Masjidil Haram, banyak ceramah agama yang telah beliau sampaikan, baik di radio maupun televisi, juga yang terekam dalam bentuk kaset dan CD.
Beliau selalu berperan aktif dalam Pekan Budaya (Almawasim Astsaqafiyyah) yang digelar oleh Rabithah Alam Islami.
Sebagaimana beliau juga aktif dalam seminar-seminar agama yang diselenggarakan di dalam maupun luar Saudi Arabia.
Dalam momen MTQ tingkat internasional, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Juri pada kisaran tahun 1399, 1400, dan 1401 H.
Beliau merupakan orang pertama yang mengetuai dewan tahkim MTQ tingkat internasional tersebut.
Abuya juga telah mengunjungi banyak negara Islam.
Tercatat, beliau berperan aktif membantu di berbagai pesantren dan madrasah di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Bentuk bantuannya, termasuk segi peletakan metodologi (manhaj), pemberian bantuan dana, penataran guru, perekrutan murid pesantren atau madrasah tersebut untuk dididik di Makkah dengan beasiswa penuh dari beliau rahmatullah alaihi.
Dalam dunia tulis menulis dan karya ilmiah, Abuya berhasil menulis puluhan kitab dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, antara lain Aqidah Islam, Ulumul Quran, Musthalah Hadits, Fiqh, dan Sirah Nabawiyyah.
Hingga akhir hayat, beliau tetap istiqamah mengajar di majelis ta`lim yang dirintis di tempat kediamannya di Syari` Almaliki Distrik Rushaifah Makkah, yang dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai kalangan anak muda hingga orang tua, selain santri beliau sendiri yang berdomisili di Rushaifah.
Adapun para santri beliau baik yang berdomisili dikediaman beliau, maupun yang mukim di luar, mayoritas berasal dari luar negeri Saudi Arabiah, dan ada pula yang berasal dari masyarakat setempat.
Banyak pula dari para muridnya itu, sekembalinya ke negara masing-masing, menjadi da`i, ustadz, dan ulama terkemuka.
Pada tanggal 2 Safar 1421 H / 6 Mei 2000, Universitas Alazhar Mesir, memberi Abuya gelar Profesor, berkat dedikasi beliau yang panjang dalam riset ilmiah dan karya tulis, yang memenuhi standar akademi.
Selain itu, gelar honoris tersebut merupakan penghargaan atas jasa-jasa perjuangan beliau yang cukup lama, dalam dunia dakwah dan penyebaran ilmu syariat di banyak negara Islam.
Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da`i di kota Makkah.
Demikian juga dengan Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul; Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), sebuah kitab yang banyak meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi.
Paham Wahabi sangat menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia Tenggara, di kediaman di jalan Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah.
Setiap harinya, mulai ba`da Maghrib hingga ba`da Isya, Abuya menyampaikan pelajarannya, serta menyambut para tamu dan thalibul ilmi di tempat itu yang jumlahnya tidak kurang dari 500 orang.
Bahkan, majelis beliau selalu dihadiri oleh para ulama dan pejabat, baik dari Saudi Arabia sendiri maupun dari luar negeri, yang datang untuk melaksanakan ibadah haji atau ziarah.
Praktis, majelis itu menjadi ajang ta`aruf dan shilaturrahim yang diformat oleh Sayyid Muhammad secara simpel, sederhana, dengan didukung oleh sifat beliau yang begitu simpatik.
Beliau selalu menanyakan kabar para jama`ah, mencari yang tidak hadir di antara muridnya, atau para jamaah yang istiqamah datang ke majelis tersebut.
Abuya dikenal sebagai figur yang sangat tawadlu, bijaksana, dan tidak ghuluw (fanatik secara berlebihan).
Beliau selalu bersedia dan selalu siap bila diajak berdiskusi hingga beddebat.
Beliau bukan figur yang senang mencerca atau marah kepada orang yang berbeda pendapat dengannya.
Namun sikap tegas dan wibawah sudah menjadi bagian dari karakter hidupnya.
Maka tak heran, semasa hidupnya, beliau adalah otoritas yang paling dihormati oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jama`ah.
Di antara faktor yang menjadikan beliau mudah diterima oleh masyarakat adalah kelembutan bicara dan akhlaqnya, terutama kepada orang yang membutuhkan bantuan kepada beliau..
Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, banyak sikap kelompok yang menyerang pendapat ilmiah beliau.
Namun dengan kebesaran hatinya, Abuya menerima semua itu dengan penuh kesabaran.
Beliau menjawab semua serangan tersebut dengan cara yang baik, dan menjelaskan duduk permasalahan dengan dalil-dalil syar`i.
Abuya selalu mempunyai keyakinan, bahwa sejak ribuan tahun, tidak pernah tercatat dalam sejarah, adanya ulama yang berbeda pendapat dengan ulama lain, lantas menyerang dengan menggunakan cara-cara yang tidak etis, yang tidak layak dilakukan oleh seorang alim.
Sikap beliau ini, berhasil meluluhkan hati banyak orang, yang pada asalnya berbeda pendapat dan menyerang beliau.
Pada akhirnya mereka makin mengetahui ketulusan hati dan tujuan beliau dalam dakwah dan menyebarkan ilmu yang bersumber dari Alquran dan Sunnah.
Setelah berjuang panjang dalam dunia dakwah dan keilmuan, pada Jumat pagi hari, tanggal 15 Ramadhan 1425 H, setelah terkena serangan penyakit yang mendadak, beliau berpulang ke rahmatullah.
Meninggalkan beberapa putra (Assayyid Ahmad, Assayyid Abdullah, Assayyid Alwi, Assayyid Ali, Assayyid Hasan, Assayyid Husain) dan beberapa putri.
Beliau dimakamkan di pemakaman Ma`la Makkah Almukarramah.
Pemakaman beliau dihadiri para pentakziah dalam jumlah yang sangat besar.
Jenazahnya dishalati di Masjid Alharam setelah shalat Isya pada hari itu.
Abuya meninggal dunia dengan meninggalkan banyak pusaka yang sulit untuk dilupakan ummat Islam.
Ribuan murid yang menyebar di berbagai negara, serta ratusan karya tulis dalam bentuk buku, monograf, makalah, dalam berbagai topik keislaman.
Belum lagi kumpulan ceramah beliau yang terekam dalam kaset dan CD, Kitab-kitab maupun rekaman ceramah beliau, tidak bertujuan mencari keuntungan materi.
Hal ini makin membuat beliau dicintai dan dihormati ummat.
Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani akan terus berada dalam sanubari terdalam ummat Islam, karena wacana keilmiahannya masih terus dapat dinikmati generasi demi generasi, dan tak akan lekang oleh pergantian zaman.
Sumber FB Ustadz : Luthfi Bashori
26 April 2021
Lima Kategori Bidah : Haram, Sunnah, Wajib, Makruh, dan Mubah
Hukum Shalat Sunnah, Tapi Punya Utang Shalat Wajib
Ini Lafal Niat Shalat Sunnah Qabliyyah Jumat
Ini Lafal Niat Shalat Sunnah Ba‘diyyah Jumat
Saat Itidal, Sunnah Bersedekap atau Tidak?
Mendengar Iqamah saat Masih Melaksanakan Shalat Sunnah
Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
26. Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
MARHABAN YA RAMADHAN
6 Ramadhan 1442 H - 18 April 2021
Oleh: Isnan Ansory
A. Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Merusak Pahala Puasa
Para ulama sepakat bahwa dosa yang dilakukan pada saat berpuasa tidak menyebabkan puasa seseorang batal, selama dosa yang dimaksud bukan termasuk pembatal puasa. Hanya saja, dalam beberapa keterangannya, Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - mengajarkan untuk meninggalkan dosa-dosa tersebut secara khusus, karena dapat berakibat pada rusaknya nilai pahala ibadah puasa yang dilakukan.
Di antara dosa-dosa yang Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - peringatkan secara khusus untuk ditinggalkan selama berpuasa Ramadhan sebagaimana berikut:
1. Menjaga Lisan & Anggota Tubuh
Pada dasarnya manusia akan mempertanggungjawabkan setiap apa yang dilontarkan oleh lisannya dan apa yang diperbuat oleh anggota tubuhnya. Dan oleh sebab itu, menjaga lidah dan anggota tubuh dari perbuatan haram pada hakikatnya haruslah dilakukan kapanpun.
Namun para ulama sepakat bahwa melakukan hal di atas lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadhan. Di mana terdapat hadits yang secara khusus memerintahkan untuk menjaga lidah dari perkataan kotor dan keji serta perkataan yang membawa kepada kefasikan dan kejahatan seperti ghibah (bergunjing), namimah (mengadu domba), dusta dan kebohongan. Meskipun para ulama sepekat bahwa perbuatan tersebut tidak sampai membatalkan puasanya, namun pahalanya dapat hilang di sisi Allah - ta’ala -.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ» (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya". (HR Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ. (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Shaum itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat keji (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali). (HR. Bukhari Muslim)
Terkait adab dalam menjawab celaan orang lain ketika berpuasa, para ulama sepakat disunnahkan untuk menjawabnya sebagaimana keterangan hadits di atas. Yaitu dengan mengatakan “aku sedang berpuasa”.
Namun para ulama sepakat bahwa anjuran ini hanya terkait dengan puasa Ramadhan yang hukumya wajib. Tetapi jika puasa sunnah, maka tidak perlu mengatakannya agar tidak menjadi sebab timbulnya riya‘. Karena itu cukup dia menahan diri dan mengatakannya dalam hati.
2. Menekan Nafsu & Syahwat
Ada nafsu dan syahwat tertentu yang tidak sampai membatalkan puasa jika dilakukan, seperti menikmati wewangian atau melihat sesuatu yang menyenangkan dan halal. Namun meski hal-hal tersebut pada dasarnya tidak membatalkan ibadah puasa, namun disunnahkan untuk meninggalkannya.
Contoh lain seperti bercumbu antara suami istri. Selama tidak sampai mengeluarkan mani atau tidak sampai melakukan hubungan seksual, sesungguhnya tidak membatalkan puasa. Tetapi sebaiknya hal itu ditinggalkan untuk mendapatkan keutamaan ibadah puasa sebagai ibadah yang berfungsi untuk menekan nafsu dan syahwat manusia.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ ... «يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا» (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Puasa adalah tameng … “(Allah berfirman) Hambaku berpuasa dengan menahan makan, minum, dan syahwatnya demi-Ku. Puasanya adalah milik-Ku dan aku akan memberinya ganjaran, dimana satu kebaikan dilipat gandakan hingga sepuluh lipat.” (HR. Bukhari Muslim)
B. Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
Umumnya para ulama sepakat bahwa disunnahkan pula untuk mandi, baik dari janabah, haid atau nifas sebelum masuk waktu fajar. Agar saat berpuasa, berada dalam kondisi suci.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(1)
يُسْتَحَبُّ تَقْدِيمُ غُسْلِ الْجَنَابَةِ مِنْ جِمَاعٍ أَوْ احْتِلَامٍ عَلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ.
Dianjurkan mendahulukan mandi janabah karena sebab jima’ atau ihtilah, sebelum terbit fajar.
Selain itu anjuran ini juga demi terlepas dari perbedaan pendapat ulama lainnya yang menilai tidak sahnya puasa dalam kondisi berhadats besar saat memulai ibadah puasanya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، أَنَّ أَبَاهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَ مَرْوَانَ، أَنَّ عَائِشَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ أَخْبَرَتَاهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ «يُدْرِكُهُ الفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ، وَيَصُومُ»، وَقَالَ مَرْوَانُ، لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ، أُقْسِمُ بِاللَّهِ لَتُقَرِّعَنَّ بِهَا أَبَا هُرَيْرَةَ. وَمَرْوَانُ، يَوْمَئِذٍ عَلَى المَدِينَةِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: فَكَرِهَ ذَلِكَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، ثُمَّ قُدِّرَ لَنَا أَنْ نَجْتَمِعَ بِذِي الحُلَيْفَةِ، وَكَانَتْ لِأَبِي هُرَيْرَةَ هُنَالِكَ أَرْضٌ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: لِأَبِي هُرَيْرَةَ إِنِّي ذَاكِرٌ لَكَ أَمْرًا وَلَوْلاَ مَرْوَانُ أَقْسَمَ عَلَيَّ فِيهِ لَمْ أَذْكُرْهُ لَكَ، فَذَكَرَ قَوْلَ عَائِشَةَ، وَأُمِّ سَلَمَةَ: فَقَالَ: كَذَلِكَ حَدَّثَنِي الفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ وَهُنَّ أَعْلَمُ وَقَالَ هَمَّامٌ، وَابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَأْمُرُ بِالفِطْرِ – من أصبح جنبا - «وَالأَوَّلُ أَسْنَدُ» (رواه البخاري)
Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, bahwa bapaknya (Abdurrahman) mengabarkan kepada Marwan bahwa Aisyah dan Ummu Salamah - radhiyallahu ‘anhuma - telah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - pernah mendapatkan waktu Fajar saat Beliau sedang junub di rumah keluarga Beliau. Maka kemudian Beliau mandi dan berpuasa. Dan berkata Marwan kepada Abdurrahman: Aku bersumpah dengan nama Allah. aku pasti menyampaikan hal ini kepada Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -. Saat itu Marwan adalah pemimpin di Madinah. Maka Abu Bakar berkata: Kejadian itu membawa Abdurrahman merasa tidak senang. Kemudian kami ditakdirkan berkumpul di Dzul-Hulaifah yang ketika itu Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - termasuk yang hadir di sana. Maka Abdurrahman berkata kepada Abu Hurairah: Aku akan menyampaikan satu hal kepadamu yang seandainya Marwan tidak bersumpah tentangnya kepadaku maka aku tidak akan menyampaikannya kepadamu. Maka dia menyebutkan apa yang disampaikan Aisyah dan Ummu Salamah di atas. Mendengar itu, Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - berkata: Persoalan tadi pernah pula diceritakan kepadaku oleh al-Fadhal bin Abbas, sedangkan mereka (Aisyah dan Ummu Salamah) lebih mengetahui perkara ini. Dan berkata Hammam dan Ibnu Abdullah bin Umar dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Adalah Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - memerintahkan untuk berbuka/ membatalkan puasa (dalam kasus junub setelah masuk waktu Fajar). Namun hadits pertama (hadits Aisyah dan Ummu Salamah) di atas lebih kuat sanadnya. (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila seseorang dalam kondisi junub di malam hari dan belum sempat mandi, padahal waktu subuh sudah masuk, maka puasanya tetap sah.
Sedangkan terkait hadits Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - di atas, ditafsirkan oleh mayoritas ulama, bahwa yang dimaksud dengan junub yang membatalkan puasa adalah seseorang yang meneruskan jima'-nya setelah masuk waktu shubuh.
-------------------
(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/377.
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
18 April 2021
Kapan Makmum Masbuq Disunnahkan Mengangkat Kedua Tangan?
Keramat Para Wali dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah
Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
25. Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
MARHABAN YA RAMADHAN
5 Ramadhan 1442 H - 17 April 2021
Oleh: Isnan Ansory
Secara umum, disunnahkan bagi seorang yang berpuasa untuk memperbanyak ibadah-ibadah yang dihukumi oleh syariat sebagai amalan sunnah. Seperti memperbanyak shalat-shalat sunnah, zikir lisan dan amalan-amalan lainnya.
Bahkan disebutkan dalam hadits bahwa pahala dari ibadah sunnah yang dilakukan pada bulan Ramadhan berbobot nilai seperti ibadah wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
عَنْ سَلْمَانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ» (رواه ابن خزيمة والبيهقي)
Dari Salman - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berkhutbah di hari terakhir dari bulan Sya’ban, dan bersabda: “Wahai manusia, telah mendekati kalian bulan yang agung (Ramadhan), bulan yang berkah, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa di siang harinya sebagai fardhu dan qiyam di dalam harinya sebagai tathawwu’ (sunnah). Siapa yang bertaqarrub di dalamnya dengan suatu kebaikan (sunnah), maka senilai dengan ibadah fardhu. Dan siapa yang beribadah fardhu, maka senilai ibadah 70 kali fardhu. Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan balasan dari sabar adalah surga. Ramadhan adalah bulan saling berbagi, yang ditambahkan bagi orang beriman rizkinya. Siapa yang memberi makanan berbuka bago orang yang berpuasa, maka menjadi ampunan atas dosanya dan penyelamat dari azab neraka. Dan ia mendapatkan pahala puasanya, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi)
Namun, ada beberapa ibadah yang secara khusus dianjurkan untuk banyak dilakukan di bulan Ramadhan, di antaranya:
1. Membaca Al-Quran
Para ulama sepakat bahwa disunnahkan bagi orang yang sedang berpuasa, untuk memperbanyak membaca al-Quran.
عَن ابْن عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: « ... وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي رَمَضَانَ، حَتَّى يَنْسَلِخَ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - القُرْآنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ أَجْوَدَ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ» (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu - berkata: “ ... Dan Jibril sa datang menemui Beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan (untuk membacakan al-Qur'an) hingga al-Qur'an selesai dibacakan untuk Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -. Apabila Jibril as datang menemui Beliau, maka Beliau adalah orang yang paling lembut dalam segala kebaikan melebihi lembutnya angin yang berhembus.” (HR. Bukhari)
2. Sedekah
Para ulama sepakat bahwa memperbanyak sedekah sangat disunnahkan saat berpuasa, termasuk diantaranya adalah memberi keluasan belanja pada keluarga, berbuat ihsan kepada famili dan kerabat.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - adalah orang yang paling bagus dalam kebajikan. Dan menjadi lebih baik lagi saat bulan Ramadhan ketika Jibril - ’alaihis salam - mendatanginya.
عَن بْن عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَجْوَدَ النَّاسِ بِالخَيْرِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ... (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - itu orang yang sangat murah dengan sumbangan. Namun saat beliau paling bermurah adalah di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril ... (HR. Bukhari Muslim)
3. Shalat-shalat Sunnah Khas Ramadhan
Selain sunnah-sunnah di atas, terdapat beberapa jenis ibadah sunnah yang menjadi kekhasan ibadah di bulan Ramadhan. Seperti shalat tarawih, tahajjud dan witir.
a. Shalat Tarawih
Para ulama sepakat bahwa disunnahkan untuk melaksanakan shalat tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, dengan ketentuan yang InsyaAllah akan dijelaskan pada bab berikutnya. Dasar kesunnahan ibadah ini adalah hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: «قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ» (متفق عليه)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: sesungguhnya Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - pada suatu malam pernah melaksanakan shalat kemudian orang-orang shalat dengan shalatnya tersebut, kemudian beliau shalat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya bertambah banyak, kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berkata: “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau khawatir bahwa shalat tersebut akan difardukan.” Rawi hadits berkata: Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari Muslim)
b. Ihya’ al-Lail
Di antara amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada bulan Ramadhan adalah ihya’ al-lail bil ‘ibadah atau menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.
Di mana ibadah paling utama untuk dilakukan di malam hari adalah shalat tahajjud. Meskipun tidak terdapat dalil khusus tentang anjuran untuk melakukannya di malam Ramadhan, namun karena Allah - ta’ala - melipat gandakan setiap amalan ibadah di malam-malam Ramadhan, maka tentu shalat tahajjud juga dianjurkan untuk dilakukan secara khusus di malam-malam Ramadhan.
Shalat tahajjud adalah shalat malam yang dilakukan selepas tidur. Adapun qiyamul-lail secara umum adalah setiap shalat yang dilakukan di malam hari, di mulai dari shalat maghrib hingga shalat-shalat yang dilakukan sebelum tidur, termasuk shalat tarawih dan shalat witir. Sedangkan ihya’ul-lail adalah setiap ibadah yang dilakukan di malam hari, meliputi ibadah shalat dan ibadah lainnya seperti membaca al-Qur’an, dzikir, belajar ilmu, dan lainnya.
Adapun dasar dianjurkan melakukan shalat tahajjud dan ibadah lainnya yang dilakukan di malam hari, berdasarkan keumuman disunnahkannya melakukan qiyamul-lail dan ihya’ al-lail di malam-malam bulan Ramadhan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Barangsiapa yang melaksanakan shaum Ramadhan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan barangsiapa yang menegakkan (ibadah) lailatul qadar karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya.” (HR. Bukhari)
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا -، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، «إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ» (متفق عليه)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: “Bila telah memasuki 10 malam terakhir bulan Ramadhan, Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - menghidupkan malam, membangunkan keluarganya (istrinya) dan meninggalkan istrinya (tidak berhubungan suami istri).” (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Shalat Witir
Sebagaimana shalat tahajjud dan shalat tarawih, disunnahkan pula secara khusus untuk melakukan shalat witir di malam bulan Ramadhan. Sekalipun shalat tahajjud dan shalat witir ini pada dasarnya disunnahkan pula untuk dilakukan di bulan lainnya.
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -، قَالَتْ: «مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ» (رواه مسلم)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: “Tiap malam Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - melakukan shalat witir, terkadang di awal, di tengah dan di akhirnya. Shalat witirnya berakhir di waktu sahur.” (HR. Muslim)
4. Beri‘tikaf
I’tikaf adalah ibadah dengan cara menyerahkan diri kepada Allah - ta’ala -, dalam wujud memenjarakan diri di dalam masjid, dan menyibukkan diri dengan berbagai bentuk ibadah yang layak dilakukan di dalamnya.
Para ulama sepakat bahwa disunnah secara khusus di bulan Ramadhan untuk melakukan i’tikaf. Khususnya pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي، فَلْيَعْتَكِفِ العَشْرَ الأَوَاخِرَ (رواه البخاري)
Dari Abu Sa’id al-Khudri - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
16 April 2021
Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah
[AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH]
“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat"
(Al-firqah An-najiyah).
Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.
Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan Al-Asy’ariyyah.
Sebuah golongan yang namanya dinisbatkan kepada Asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya.
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah.
Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam :
.. ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺑُﺤْﺒُﻮْﺣَﺔَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺰَﻡِ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤّﺤﻪ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻗﺎﻝ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ )
Maknanya :
“…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada Al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah.”
(Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)
Setelah tahun 260 Hijriah menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya.
Maka dua Imam yang agung Abu Al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W. 333 H) semoga Allah meridhai keduanya menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash Al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap kesesatan-kesesatan Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya.
Ahlussunnah akhirnya dikenal dengan nama Al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan Al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).
Jalan yang ditempuh oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) dalam al Ithaf , juz II hal. 6, mengatakan:
“Pasal Kedua: “Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah.” Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas).
Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah).
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan tersesat.
Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka. Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an-Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab :
ﺇِﻳْـﻤَﺎﻥٌ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ )
Maknanya:
“Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. al Bukhari)
Al-‘Arif Billah al-Imam as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad (w 1132 H), Shahib ar-Ratib, dalam karyanya berjudul Risalah al-Mu’awanah, h. 14,
Sumber FB : Fauzi Febrianto Chaniago bersama Willy Chaniago dan 11 lainnya.
18 Maret 2021 pada 05.15 ·
Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
24. Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
MARHABAN YA RAMADHAN
4 Ramadhan 1442 H - 16 April 2021
Oleh. Isnan Ansory
Para ulama sepakat bahwa berbuka puasa pada waktunya terhitung sebagai amalan sunnah dalam ibadah puasa. Dalam hal ini ada beberapa kesunnahan yang secara khusus dianjurkan untuk dilakukan ketika berbuka puasa, di antaranya:
1. Menyegerakan Berbuka
Para ulama sepakat bahwa disunnahkan dalam berbuka puasa untuk men-ta‘jil atau menyegerakan berbuka sebelum shalat Maghrib. Meski hanya dengan seteguk air atau sebutir kurma.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: «لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ» (متفق عليه)
Dari Sahl bin Sa’ad - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Umatku masih dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari Muslim)
2. Berdoa Saat Berbuka
Para ulama sepakat bahwa disunnahkan untuk berdoa saat berbuka puasa. Sebagaimana disunnahkan pula untuk membaca do‘a yang ma‘tsur dari Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - ketika berbuka puasa. Karena do‘a orang yang berpuasa dan berbuka termasuk doa yang mustajab.
عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ. (رواه ابن ماجه)
Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bagi orang yang berpuasa ketika sedang berbuka ada doa yang tak akan ditolak.” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan di antara teks doa yang diajarkan Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -, sebagaimana dijelaskan oleh imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar, berikut ini:(1)
روينا في سنن أبي داود، والنسائي، عن ابن عمر - رضي الله عنهما -، قال: كان النبي - صلى الله عليه وسلم - إذا أفطر قال:
ذَهَبَ الظَّمأُ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ، وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شاءَ اللَّهُ تَعالى
Kami (imam an-Nawawi) meriwayatkan dari sunan Abu Dawud dan Nasai, dari Ibnu Umar - radhiyallahu ‘anhu - yang berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - jika berbuka puasa membaca doa:
“Telah hilang haus dan telah basah tenggorakan dan telah pasti balasan Insya Allah.”
وروينا في سنن أبي داود، عن معاذ بن زهرة، أنه بلغه، أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا أفطر قال:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ.
Dan kami meriwayatkan alam sunan Abi Dawud dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - jika berbuka puasa membaca doa:
“Ya Allah, kepada Engkaulah aku berpuasa dan dengan rizki dari-Mu aku berbuka."
وروينا في كتاب ابن السني، عن معاذ بن زهرة، قال: كان رسولُ الله - صلى الله عليه وسلم - إذا أفطر قال:
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذي أعانَنِي فَصَمْتُ، وَرَزَقَنِي فأفْطَرْتُ.
Dan kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu as-Sunni dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - jika berbuka puasa membaca doa:
“Maha suci Allah yang telah menolongku, maka aku dapat berpuasa. Dan memberiku rizki, maka aku dapat berbuka.”
وروينا في كتاب ابن السني عن ابن عباس - رضي الله عنهما -، قال: كان النبي - صلى الله عليه وسلم - إذا أفطر قال:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنا، وَعلى رِزْقِكَ أَفْطَرْنا، فَتَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ العَلِيمُ.
Dan kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu as-Sunni dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - jika berbuka puasa membaca doa:
“Ya Allah untuk-Mu kami berpuasa, dan dengan rizki-Mu kami berbuka, maka terimalah ibadah kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
وروينا في كتابي ابن ماجه، وابن السني، عن عبد الله بن أبي مليكة، عن عبد الله بن عمرو بن العاص - رضي الله عنهما -، قال: سمعتُ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول: إنَّ للصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً ما تُرَدُّ. قال ابن أبي مُليكة: سمعتُ عبد الله بن عمرو إذا أفطرَ يقول:
اللَّهُمَّ إني أسألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كل شئ أنْ تَغْفِرَ لي.
Dan kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu Majah dan Ibnu as-Sunni dari Abdullah bin Abi Malikah dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash - radhiyallahu ‘anhu -, bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Bagi orang yang berpuasa terdapat doa yang tidak tertolak. Ibnu Abi Malikah berkata: Aku mendengar Abdullah bin Amr - radhiyallahu ‘anhu -, jika berbuka membaca doa:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi setiap sesuatu, Engkau berkehendak mengampuni diriku.”
Doa-doa tersebut, menurut Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani (w. 1316 H), disunnahkan dibaca setelah berbuka, bukan sebelum berbuka.(2)
3. Saling Berbagi Makanan Ifthor
Para ulama sepakat bahwa disunnahkan untuk memberi makan saat berbuka bagi orang yang berpuasa. Bahkan balasan perbuatan ini sangat besar sebesar pahala orang yang diberi makan itu tanpa dikurangi pahala puasanya. Bahkan sekalipun pemberian ifthor itu hanya sekedar memberi sebutir kurma atau seteguk air putih saja.
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الجُهَنِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا» (رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه)
Dari Zaid bin Khalid al-Juhani - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Siapa yang memberi makan (saat berbuka) untuk orang yang berpuasa, maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang diberi makannya itu tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala puasanya.” (HR Tirmizi, Nasai dan Ibnu Majah)
Dan disunnahkan bagi yang diberi makanan berbuka untuk mendoakan kebaikan bagi yang memberi. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
عَنْ أَنَسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جَاءَ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ، فَجَاءَ بِخُبْزٍ وَزَيْتٍ، فَأَكَلَ، ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ» (رواه أبو داود وابن ماجه والنسائي وأحمد)
Dari Anas - radhiyallahu ‘anhu -: bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - mendatangi Sa’ad bin Ubadah, lantas Sa’ad membawakan untuk Nabi makanan berupa roti dan minyak samin, lalu Nabi memakannya. Kemudian Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda:
“Telah berbuka puasa bersama kalian orang-orang yang berpuasa, dan makan makanan kalian orang-orang baik, dan malaikat bershalat atas kalian.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasai dan Ahmad)
4. Berbuka Dengan Ruthab, Kurma atau Air
Para ulama sepakat bahwa berbuka puasa dengan menu kurma dan air, hukumnya adalah sunnah.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَتَمَرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ» (رواه أحمد وأبو داود)
Dari Anas bin Malik - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: ”Rasulullah berbuka dengan rutab sebelum shalat, jika tidak terdapat rutab (kurma muda), maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), jika tidak ada beliau meneguk air.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ تَمْرًا فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ، فَإِنَّهُ لَهُ طَهُورٌ» (رواه أحمد وأبو داود والترمذي)
Dari Salman bin Amir adh-Dhabbi - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bila kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma, karena kurma itu barakah. Kalau tidak ada kurma, maka dengan air, karena air itu mensucikan.” (HR. Ahamd, Abu Daud, dan Tirmizy)
----------------------
(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Adzkar, (Bairut: Dar al-Fikr, 1414/1994), hlm. 190.
(2) Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 224.
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
16 April 2021