JURNALIS BUSUK DAN AMPLOP

“Pemberi sumbangan kerusakan paling besar terhadap masyarakat dan negara ini adalah penegak hokum dan wartawan…”

Bila dirunut lebih jauh, kebusukan dan kerusakan yang terjadi dalam dunia jurnalisme di Indonesia (barangkalai juga di dunia) terbagi dalam dua kategori besar. Pertama adalah struktural dan kedua adalah kultural. Hal ini juga terjadi pada profesi lain baik penegak hukum, birokrat, pengusaha dan lain-lain. Ibarat keping mata uang, selalu ada dua sisi yang memberi sumbangsih pada kebusukan yang terjadi. Wajah profesi jurnalisme di Indonesia pun demikian. Kebusukan yang terjadi ada yang struktural dan disadari, dan ada pula yang tak disadari atau sudah dianggap biasa sehingga dimaklumi keberadaannya (membudaya).

Yang struktural dan dianggap menjadi penyumbang kebusukan antara lain tekanan pemilik media terhadap jurnalis, orientasi pemilik media yang lebih condong kepada bisnis daripada aspek sosial dan pendidikan masyarakat, tekanan politik penguasa, struktur gaji yang tak memadai, suasana kerja dalam tubuh media itu yang tidak menumbuhkan budaya professional, dan lemahnya jaringan serta power wartawan maupun organisasi wartawan dalam memperjuangkan profesionalisme anggotanya.

Sedangkan yang kultural adalah “kecongkakan” dalam diri wartawan bahwa dirinya “berkuasa” karena memiliki kekuatan membangun opini, memaklumkan adanya pemberian amplop dari narasumber asal dalam koridor “tidak meminta”, sikap pragmatis wartawan dan birokrat untuk lebih mementingkan menjaga harmoni dengan menutupi sebagian informasi yang layak diketahui publik, serta anggapan bahwa menyajikan informasi dari dua sisi berarti tugasnya sudah sebagai wartawan sudah selesai dan masyarakat dipersilakan menilai sendiri.

Hanya saja, perlu disadari, sumber-sumber kebusukan itu tak berdiri terpisah. Mereka saling kait-mengait membentuk jaring laba-laba yang sulit dirunut ujung pangkalnya. Kendati begitu, bukan sikap bijaksana kalau wartawan dan masyarakat hanya bersikap memaklumi kondisi ini tanpa berusaha mengubahnya.

Memang untuk mengamputasi kebusukan-kebusukan itu bukan perkara mudah. Tradisi jurnalisme modern di Indonesia baru berumur lebih kurang satu abad. Lebih tiga perempatnya wartawan dan media hidup dalam suasana otoriter (jaman kolonial Belanda, Jepang, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru) yang mengedepankan pendekatan kekuasaan untuk menyelesaikan masalah.

Wajar bila iklim reformasi yang berbuah kebebasan pers, belum cukup signifikan membabat kebusukan struktural maupun kultural wartawan dan media. Ibarat kata, wartawan dan media saat ini masih hidup dalam masyarakat yang “memaklumi” perilaku otoriter. Birokrat dan penegak hukum juga belum bisa membersihkan dirinya dari Lumpur dan sampah tradisi otoriter. Wartawan dan media, suka atau tidak, sebagian tubuhnya terbenam di masa lalu.

Contoh paling gampang, profesionalisme wartawan tak didukung penuh oleh media dengan memberikan gaji yang layak. Akibatnya wartawan harus berpikir ulang setiap kali ada pihak yang menyodorinya amplop. Parahnya sebagian media terkesan tutup mata dan bersikap “tahu sama tahu” tentang situasi ini asal tak merugikan perusahaan secara keseluruhan. Padahal bila sepucuk saja amplop sudah berpindah tangan dari narasumber ke wartawan, independensi yang diagungkan dalam kerja jurnalistik sebenarnya sudah luntur. Tetapi mengapa hal ini dibiarkan oleh perusahaan media?

Menurut saya, lebih mudah mengatasi kebusukan ini dengan membabat hal-hal yang bersifat kasat mata terlebih dahulu seperti pemakluman terhadap media. Persepsi bahwa menerima amplop adalah “tidak apa-apa” asal “tidak meminta” harus diubah. Wartawan dan perusahaan media harus diyakinkan bahwa, menerima amplop adalah meracuni pikiran. Cepat atau lambat, si penerima amplop akan berubah pikiran dan meyakini bahwa amplop memang tak membawa masalah bagi penerimanya. Akibat lebih jauh, si wartawan akan cenderung berorientasi mencari berita yang berpotensi “menyediakan amplop” daripada berita kering. Racun itu akan mengirim pesan ke syaraf otak mengatakan menerima amplop adalah “kenikmatan” dan menjadi kewajaran dari kehidupan seorang wartawan. Dampak secara menyeluruh, independensi wartawan melorot, kualitas media menurun karena banyak berita berisi pesan terselubung sponsor yang dijadikan alat khusus untuk berpolitik amplop, media menjadi corong penguasa dan kaum kapitalis, kepedulian menyuarakan kebenaran berkurang dan masyarakat pun membaca berita-berita sampah. Singkatnya, masyarakat dibodohi dan dibohongi ketika menerima informasi media. (Sumber@Wedha)

Sumber : tarakankota.go.id

Share this

Share on FacebookTweet on TwitterPlus on Google+

4 komentar

wow....keren juga tulisannya tentang wartawan and media....BTW, bener kan kamu kerja di kantor PDE kota Tarakan, wahhh bisa jadi sarana yang bagus tuh buat nulis kejelekan pemerintah kota Tarakan yang selama ini ditutup-tutupi....dobrak penguasa dengan kejelian kita....

Yak .. saya juga sangat muak thdp jurnalis-jurnalis yang tak berjiwa jurnalisme. Seharusnya mereka bangga dengan profesi mulia sebagai penyampai berita dan fakta kepada masyarakat. Tapi karena sebuah kedangkalan pikiran mereka merusak kemuliaan itu. Semoga jurnalist2 Tarakan gak ada yang begitu yakk ..!? kalo'pun ada semoga segera mendapatkan pencerahan.

Yak .. saya juga sangat muak thdp jurnalis-jurnalis yang tak berjiwa jurnalisme. Seharusnya mereka bangga dengan profesi mulia sebagai penyampai berita dan fakta kepada masyarakat. Tapi karena sebuah kedangkalan pikiran mereka merusak kemuliaan itu. Semoga jurnalist2 Tarakan gak ada yang begitu yakk ..!? kalo'pun ada semoga segera mendapatkan pencerahan.