M. Tatam Wijaya
Setiap malam nisfu Sya‘ban, kaum Muslimin senantiasa mengisinya dengan berbagai macam amalan. Salah satunya dengan amalan shalat sunnah nisfu Sya‘ban. Namun kemudian, tak sedikit dari mereka yang merasa ragu karena shalat sunnah tersebut tak henti-hentinya dianggap bid‘ah, munkar, dan tidak ada dasar dalilnya oleh sebagian kalangan. Oleh karena itu, kiranya perlu diperjelas apakah benar shalat sunnah nisfu Sya‘ban adalah tanpa dalil?
Perlu diketahui bahwa amalan shalat sunnah di malam nisfu Sya‘ban ini dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin. Bahkan, ia menjelaskan tata caranya, mulai dari jumlah rakaat hingga bacaannya:
وأما صلاة شعبان فليلة الخامس عشر منه يصلي مائة ركعة كل ركعتين بتسليمة يقرأ في كل ركعة بعد الفاتحة قل هو الله أحد إحدى عشرة مرة وإن شاء صلى عشر ركعات يقرأ في كل ركعة بعد الفاتحة مائة مرة قل هو الله أحد فهذا أيضاً مروي في جملة الصلوات كان السلف يصلون هذه الصلاة ويسمونها صلاة الخير ويجتمعون فيها وربما صلوها جماعة
Artinya, “Adapun shalat sunnah Sya‘ban adalah malam kelima belas bulan Sya‘ban. Dilaksanakan sebanyak seratus rakaat. Setiap dua rakaat satu salam. Setiap rakaat setelah Al-Fatihah membaca Qulhuwallahu ahad sebanyak 11 kali. Jika mau, seseorang dapat shalat sebanyak 10 rakaat. Setiap rakaat setelah Al-Fatihah Qulhuwallahu ahad 100 kali. Ini juga diriwayatkan dalam sejumlah shalat yang dilakukan orang-orang salaf dan mereka sebut sebagai shalat khair. Mereka berkumpul untuk menunaikannya. Mungkin mereka menunaikannya secara berjamaah,” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, jilid 1, hal. 203).
Rupanya Al-Ghazali bukan tanpa alasan menganjurkan shalat nisfu Sya‘ban ini. Ia mendasarinya dengan riwayat Al-Hasan.
روي عن الحسن أنه قال حدثني ثلاثون من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إن من صلى هذه الصلاة في هذه الليلة نظر الله إليه سبعين نظرة وقضى له بكل نظرة سبعين حاجة أدناها المغفرة
Artinya, “Diriwayatkan dari Al-Hasan. Dikatakannya, ‘Telah meriwayatkan kepadaku tiga puluh sahabat Nabi shallalu ‘alaihi wasallam. ‘Sungguh orang yang menunaikan shalat ini pada malam ini (nisfu Sya‘ban), maka Allah akan memandangnya sebanyak tujuh puluh kali dan setiap pandangan Dia akan memenuhi tujuh puluh kebutuhan. Sekurang-kurangnya kebutuhan adalah ampunan,’’” (Lihat Ihya ‘Ulumiddin, Jilid 1, hal. 203; dan Qutul Qulub, hal. 114).
Namun, pentakhrij hadits kitab Ihya ‘Ulumidddin menyatakan bahwa hadits tentang shalat malam nisfu Sya‘ban ini batil sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-‘Iraqi dari Mazhab Syafi’i.
Sementara hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari ‘Ali bin Abi Thalib–yang menyatakan, “Ketika malam pertengahan bulan Sya‘ban, maka bangunlah malam harinya dan berpuasalah di siang harinya,” – bersanad lemah.
Termasuk hadits yang ditolak menurut Al-Ghumari adalah hadits tentang tata cara shalat nisfu Sya‘ban dari ‘Ali bin Abi Thalib yang menyatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam nisfu Sya‘ban bangun dan shalat sebanyak 14 rakaat. Kemudian, setelah selesai, beliau duduk lalu membaca Surat Al-Fatihah sebanyak 14 kali, membaca Surat Al-Ikhlas sebanyak 14 kali, membaca Al-Falaq sebanyak 14 kali, membaca Surah An-Nas sebanyak 14 kali, membaca Ayat Kursi sekali. Usai shalat, aku menanyakannya. Rasulullah menjawab, ‘Siapa saja yang menunaikan seperti apa yang aku tunaikan, maka ia akan mendapat pahala 20 haji mabrur, pahala puasa 20 tahun yang diterima.’ Hadits ini juga maudhu sebagaimana yang dinaskan oleh al-Baihaqi dan yang lain.” (Lihat: Sayyid Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Madza fi Sya‘ban, hal. 116).
Selain itu, hadits tentang shalat nisfu Sya‘ban yang berjumlah 100 rakaat juga dianggap bid‘ah oleh Imam An-Nawawi. Hal itu seperti yang dituliskannya dalam Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzdzab.
(الْعَاشِرَةُ) الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَاتَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذِكْرِ هِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ
Artinya, “Kesepuluh adalah shalat yang dikenal dengan Shalat Ar-Ragha’ib, yaitu 12 rakaat yang dilaksanakan antara maghrib dan isya pada malam Jumat pertama bulan Rajab dan shalat malam nisfu Sya‘ban sebanyak 100 rakaat. Dua shalat ini adalah bid‘ah, munkar, dan buruk. Jangan tertipu dengan penyebutan dua shalat dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya ‘Ulumiddin," (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzdzab, jilid 4, hal. 56).
Kendati demikian, anjuran untuk menghidupkan malam nisfu Sya‘ban dengan berbagai amalan, termasuk dengan amalan shalat sunnah, tak diperdebatkan oleh An-Nawawi. Banyak keutamaan yang disebutkan dalam banyak riwayat. Salah satunya riwayat Ibnu Majah berikut.
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Artinya, “Jika malam nisfu Sya‘ban datang, maka bangunlah di malam harinya, dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah pada malam itu turun ke langit dunia hingga terbit malam hari. Dia berfirman, ‘Ingatlah, adakah yang memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya. Adakah yang memohon rezeki, niscaya Aku akan memberinya. Adakah yang sedang ditimpa ujian, niscaya Aku akan menyelamatkannya. Begitu seterusnya, hingga terbit fajar.’”
Walau status hadits ini lemah, namun banyak riwayat lain yang menguatkannya. Hadits yang menguatkannya antara lain adalah riwayat berikut:
يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا لِاثْنَيْنِ: مُشَاحِنٍ، وَقَاتِلِ نَفْسٍ
Artinya, “Allah senantiasa memperhatikan makhluk-Nya pada malam nisfu Sya‘ban. Maka Dia akan mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua: hamba yang saling bermusuhan dan yang membunuh,” (HR. Ahmad).
Yang jelas menghidupkan malam nisfu Sya‘ban merupakan hal yang disepakati, termasuk dengan amalan shalat sunnah. Yang dipermasalahkan oleh sebagian kalangan, termasuk oleh An-Nawawi adalah shalat sunnah nisfu Sya‘ban yang 100 dan 14 rakaat, sebab dasar dalilnya bermasalah.
Adapun mengisinya dengan shalat sunnah yang lain, seperti shalat sunnah awwabin, shalat sunnat taubat, shalat sunnah tahajud, shalat sunnah witir, dan seterusnya, tidak dipermasalahkan. Termasuk shalat sunnah nisfu Sya‘ban yang berjumlah dua rakaat. Sebab tidaklah tercela menambahkan niat lain ke dalam suatu shalat sunnah, dengan catatan setelah ikhlas karena Allah, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki:
لا يقدح في نية المصلي إذا ما نوى بعد الإخلاص لله بصلاته نية أخرى مندرجة تحت نيته الأصلية ومضافة إليها
Artinya, “Dalam niat orang yang shalat setelah ia meniati shalatnya dengan ikhlas karena Allah, tidak tercela ada niat lain yang masuk ke dalam niat asalnya dan niat itu ditambahkan kepadanya.”
Ditegaskan oleh Al-Maliki, dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada dalil yang menunjukkan hal itu. Bahkan, banyak dalil yang menganjurkan, mendorong, dan mengajak untuk melakukannya. Dalil paling sahih dalam hal ini adalah shalat istikharah, shalat sunnah tobat, shalat sunnah hajat, dan masih banyak lagi shalat sunnah dengan niat yang berbeda-beda dan untuk berbagai tujuan pribadi, kebutuhan, kepentingan, dan manfaat duniawi.
Termasuk shalat sunnah safar dan shalat sunnah di malam pengantin. Secara umum, perintah shalat dua rakaat ketika memiliki suatu hajat telah disampaikan oleh Rasulullah shallllahu ‘alaihi wasallam.
مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللهِ
Artinya, “Siapa saja yang memiliki suatu hajat, atau kebutuhan kepada seorang bani Adam, maka wudhulah, dan membaguskan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat, lalu memuji Allah...”
Walhasil, penambahan niat nisfu Sya‘ban pada shalat sunnah setelah berniat ikhlas karena Allah tidak ada masalah. Tidak dianggap bid‘ah. Justru sesuai dengan sunnah. Yang dianggap tak berdasar adalah shalat sunnah 100 rakaat atau 14 rakaat. Terlebih kebanyakan umat Islam di Indonesia menunaikan shalat malam nisfu Sya'ban yang dua rakaat. Lagi pula, yang perlu diperhatikan adalah keikhlasan dalam shalat sunnah. Shalat sunnah yang jelas dalilnya pun jika diniatkan ingin diperhatikan orang termasuk hal tercela sebagaimana disinggung hadits riwayat Ibnu Majah dan Al-Baihaqi.
الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي، فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
Artinya, Syirik yang samar itu ketika seorang laki-laki shalat, kemudian membagus-baguskan shalatnya, karena ingin melihat pandangan orang lain. (Al-Maliki, Madza fi Sya‘ban: hal. 112). Wallahu a’lam.
Ustadz M Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.