Ahmad Halimy
Sunnah pada dasarnya adalah jalan yang dipilih Nabi. Secara harafiah sunnah menjadi bahasan kajian teks untuk menghasilkan hukum dalam ilmu fiqh. Kebanyakan isi kajian ushul fiqh yang lalu menghasilkan fiqh adalah kajian kebahasaan, untuk memahami sunnah secara harafiah. Dari sisi ini saja pemahaman terhadap sunnah sudah sangat dinamis, sebagaimana sangat dipahami oleh mereka yang pernah membaca fiqh perbandingan madzhab.
Di sisi lain, secara esensi, sunnah sebenarnya juga menggambarkan pola dan teladan RasululLah dalam menghadapi berbagai hal. Dalam hal ini pemahaman terhadap sunnah malah mungkin akan lebih dinamis, karena tidak hanya berusaha memahami apa makna sebuah teks sunnah, namun lebih dari itu ingin memahami konteks sebuah sunnah. Pada akhirnya kita akan bisa memahami teks sunnah secara lebih komprehensif, dan menerapkannya pada situasi yang lebih pas.
Tulisan ini berusaha mengkaji bagaimana sunnah Nabi dalam menghadapi perkara baru, atau yang secara bahasa disebut sebagai bid’ah. Ada dua hal yang menjadi asumsi dasar tulisan ini. Pertama : di masa Nabi sudah ada sahabat yang melakukan perkara baru (baca : perkara yang tidak dicontohkan dan diperintahkan Nabi secara khusus). Kedua : sudah ada sikap Nabi terhadap perkara tersebut.
KASUS PERTAMA : KASUS BACAAN DOA I’TIDAL
Dalam kitab al Adzkar, Imam Nawawi memberika porsi khusus tentang bacaan bacaan saat bangun dari ruku’, atau yang biasa kita sebut sebagai I’tidal. Imam Nawawi menyebutkan beberapa riwayat tentang bacaan i’tidal. Pertama Imam Nawawi menyebut beberapa riwayat tentang bacaan Nabi saat I’tidal, antara lain beliau berkata :
Dalam Shohih Muslim, dari Ibn Abbas ra.
ربنا لك الحمد ملؤ السموات وملؤ الارض وما بينهما وملؤ ما شئت من شيئ بعد
Ini adalah lafadh bacaan RasululLah SAW saat i’tidal.
Yang menarik, persis di bawah riwayat ini Imam Nawawi menyebut satu riwayat lain dari Shohih Bukhori dari Rifa’ah bin Rofi’, dia bercerita :
Suatu hari kami sholat bersama Nabi. Saat i’tidal beliau membaca : Sami’alLahu liman hamidah. Tiba tiba ada seorang lelaki di belakang beliau berkata :
ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه
Selesai sholat Nabi bertanya : Siapa yang membaca tadi ?
Lelaki itu menjawab : Saya
Nabi menukas : Aku melihat lebih dari 30 malaikat berebut ingin mencatat bacaanmu tadi.
Peristiwa ini menjadi pelajaran buat kita, dan sunnah Nabi dalam menghadapi perkara baru. Sahabat tadi membaca bacaan i’tidal tak seperti yang Nabi baca. Dia menyusun sendiri bacaannya. Jadi bacaan sahabat ini adalah sesuatu yang baru (bid’ah) yang tak dilakukan Nabi. Namun, alih alih mencela, Nabi malah memuji dan menerangkan bahwa para malaikat berebut mencatatnya.
Dalam riwayat shohih ini ada beberapa pelajaran :
1. Nabi tak melarang semua perkara baru. Hanya perkara baru yang bertentangan dengan agama saja yang beliau larang.
2. Ada amalan yang tidak dicontohkan oleh Nabi tapi ternyata diterima oleh Allah, terbukti dengan fakta bahwa Nabi tidak mencela dan malaikat berebut mencatat, dan malaikat adalah makhluk yang hanya melaksanakan perintah Allah SWT.
3. Jika dikatakan bahwa bacaan ini bukan bid'ah karena ditaqrir Nabi, maka ini terbantah dengan fakta bahwa malaikat telah berebut mencatatnya sebelum ditaqrir oleh Nabi.
4. Terburu buru melarang sesuatu hanya karena hal itu tidak pernah dikerjakan Nabi, atau tidak ada di masa Nabi, adalah sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Nabi dalam menghadapi perkara baru. Jadi ini adalah bid’ah dalam menghadapi perkara baru, alias bid’ah dalam menghadapi bid’ah.
5. Dalam hadits ini ada dalil kuat bahwa perkara baru (baca : bid’ah secara bahasa) tak semuanya buruk, bahkan ada yang baik alias bid'ah hasanah.
6. Hadits ini memberikan kita pemahaman yang lebih luas tentang bid’ah dalam pandangan (worldview) RasululLah SAW, bahwa yang disebut bid’ah dalam hadits kullu bid’ah dlolalah adalah maa yukholifus sunnah (sesuatu yang bertentangan dengan sunnah), dan bukan maa laysa fis sunnah (sesuatu yang tidak ada dalam sunnah).
Di sinilah ketelitian pembagian Imam Syafii dalam memahami bid’ah. Beliau mendefinisikan :
البدعة بدعتن : بدعة محمودة وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمودة وما خالف السنة فهو مذمومة
Bid’ah ada dua : terpuji dan tercela.
Bid’ah (perkara baru) yang sesuai dengan sunnah maka itu terpuji
Bid’ah (perkara baru) yang bertentangan dengan sunnah maka itu tercela
7. Hadits ini juga mengandung bantahan terhadap orang yang suka menyalahkan amalan orang lain dan berkata : kalau ada doa dari Nabi, mengapa pakai doa ulama’ ? kalau ada sholawat dari Nabi kenapa pakai sholawat susunan ulama’ ? atau ucapan “kalau ada hadits shohih, kenapa pake hadits yang dloif”, karena bacaan dalam riwayat ini adalah susunan sahabat, yang bahkan bukan tergolong hadits.
8. Adapun jika ada perkara baru yang menurut sebagian ulama’ sesuai dengan sunnah, dan menurut yang lain bertentangan, maka ini adalah wilayah khilafiyyah yang harus dihargai, bukan diperuncing, sebagaimana sunnah Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi perbedaan pendapat para sahabat beliau dalam masalah yang tidak bertentangan dengan prinsip agama.
Semoga bermanfaat. WalLahu a’lam.
Sumenep, 8 Maret 2019
Sumber FB : Ahmad Halimy
8 Maret 2019 ·
baca juga Sunnah Nabi :
1. Sunnah Nabi dalam Menyikapi Bid’ah 1