Ketika ada maling atau pencuri hendak masuk ke rumahnya, budayawan asal Jombang, Jatim, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) memilih sikap yang sama dengan tokoh sufi Abu Nawas.
"Kalau ada pencuri masuk ke rumah saya, saya pura-pura tidak tahu saja. Kasihan dia, nanti malu kalau dia tahu saya melihatnya," katanya ketika menguraikan sikap rela dalam pengajian bulanan "BangbangWetan" di Surabaya, Kamis (27/9) malam.
Menurut pria kelahiran Jombang, 27 Mei 1953 itu, sikap Abu Nawas justru lebih dari itu. Ketika ada pencuri masuk ke rumahnya, Abu Nawas malah bersembunyi di bawah tempat tidurnya.
"Sampai isterinya bingung dan bertanya. Sampean ini laki-laki kok takut sama pencuri? Tapi Abu Nawas menjawab, aku tidak enak kalau dia tahu saya, soalnya di rumah ini tidak ada apa-apa yang bisa dicuri," cerita Cak Nun yang diikuti tawa jemaahnya.
Cerita Abu Nawas itu terkait dengan sejarah Perang Badar, pada masa Rasulullah SAW dimana umat Islam dengan kekuatan sangat kecil, tapi justru menuai kemenangan yang gilang gemilang melawan musuh yang besar.
"Kisah Perang Badar dan kerelaan itu harus menjadi rumus hidup kita. Saat kita tidak takut akan kematian dan kekalahan, maka Allah akan memberi kemenangan. Saat kita rela kehilangan dunia, maka Allah akan merelakan dunia berada di pangkuan kita," katanya.
Suami dari Novia Kolopaking itu mengemukakan, kemenangan pasukan Islam dalam Perang Badar yang hanya 300 orang melawan 1.200 orang musuh itu bukan karena kekuatan orang Islam, melainkan karena kepasrahan Rasulullah dan umatnya saat itu.
"Pasukan Islam saat itu dalam kondisi lemah karena kurang makan, sehingga didorong sedikit saja sudah jatuh. Mereka bukan pasukan terlatih. Tapi ketika mereka menang, mereka tidak merayakan kemenangannya itu," katanya.
Saat itu, kata penulis lebih dari 50 buku kumpulan puisi dan esei itu, Rasulullah justru memberikan kebebasan dan hadiah emas kepada tawanan perang musuh dan bukan malah menyakitinya.
"Itulah sebetulnya hari kasih sayang dalam Islam dan pertama di dunia. Nabi juga tidak mengajak tawanan itu untuk masuk Islam, tapi disuruh pulang dan bersenang-senang dengan keluarganya," kata alumni Pesantren Modern Gontor Ponorogo yang juga mantan wartawan itu.
Sumber : Antara
"Kalau ada pencuri masuk ke rumah saya, saya pura-pura tidak tahu saja. Kasihan dia, nanti malu kalau dia tahu saya melihatnya," katanya ketika menguraikan sikap rela dalam pengajian bulanan "BangbangWetan" di Surabaya, Kamis (27/9) malam.
Menurut pria kelahiran Jombang, 27 Mei 1953 itu, sikap Abu Nawas justru lebih dari itu. Ketika ada pencuri masuk ke rumahnya, Abu Nawas malah bersembunyi di bawah tempat tidurnya.
"Sampai isterinya bingung dan bertanya. Sampean ini laki-laki kok takut sama pencuri? Tapi Abu Nawas menjawab, aku tidak enak kalau dia tahu saya, soalnya di rumah ini tidak ada apa-apa yang bisa dicuri," cerita Cak Nun yang diikuti tawa jemaahnya.
Cerita Abu Nawas itu terkait dengan sejarah Perang Badar, pada masa Rasulullah SAW dimana umat Islam dengan kekuatan sangat kecil, tapi justru menuai kemenangan yang gilang gemilang melawan musuh yang besar.
"Kisah Perang Badar dan kerelaan itu harus menjadi rumus hidup kita. Saat kita tidak takut akan kematian dan kekalahan, maka Allah akan memberi kemenangan. Saat kita rela kehilangan dunia, maka Allah akan merelakan dunia berada di pangkuan kita," katanya.
Suami dari Novia Kolopaking itu mengemukakan, kemenangan pasukan Islam dalam Perang Badar yang hanya 300 orang melawan 1.200 orang musuh itu bukan karena kekuatan orang Islam, melainkan karena kepasrahan Rasulullah dan umatnya saat itu.
"Pasukan Islam saat itu dalam kondisi lemah karena kurang makan, sehingga didorong sedikit saja sudah jatuh. Mereka bukan pasukan terlatih. Tapi ketika mereka menang, mereka tidak merayakan kemenangannya itu," katanya.
Saat itu, kata penulis lebih dari 50 buku kumpulan puisi dan esei itu, Rasulullah justru memberikan kebebasan dan hadiah emas kepada tawanan perang musuh dan bukan malah menyakitinya.
"Itulah sebetulnya hari kasih sayang dalam Islam dan pertama di dunia. Nabi juga tidak mengajak tawanan itu untuk masuk Islam, tapi disuruh pulang dan bersenang-senang dengan keluarganya," kata alumni Pesantren Modern Gontor Ponorogo yang juga mantan wartawan itu.
Sumber : Antara